Berani untuk Ber(tato)beda
Mengenakan Tato pada tubuh adalah pilihan yang membutuhkan keberanian, tentu anda sepakat. Itu berarti anda akan berbeda dengan kelompok lain, yang tidak ber-tato. Sebagai salah satu produk seni ia masih saja terus menjadi dialektika, rasa ingin tau dan berbagai aspek didalamnya.
Cepat atau lambat perdebatan-perdebatan akan terjadi juga. Perdebatan adalah pertanda terjadinya dialektika dalam cakrawala analisa, telisik dan menghantarkannya ke ranah publik, dimana buah pikiran-pikiran itu berdiri sendiri berhadapan dengan realitas dan analisa serta pendapat orang lain. Dalam menyikapi sebuah fenomena, seseorang tidak diharuskan “berbeda” hanya untuk menjadi sorotan. Tetapi berbeda dalam cara pandang yang mengalami pendalaman makna dan analisa harus dihargai sebagai sebuah asasi. Hal ini saya petik dari sebuah perdebatan di satu jejaring sosial mengenai Tato di Indonesia. Indonesia sebuah negeri carut marut dimana beraneka budaya lokal dan luar berpintal-pintal untuk kemudian tampil dengan wajah baru, atau dengan wajah lama namun riasan baru.
Beberapa orang Indonesia terdidik di luar negeri sana melempar wacana, bahwa terjadi sebuah penipuan yang disengaja, bahkan pencurian terhadap aset budaya kelompok darimana ia berasal. Oleh seorang seniman yang menyediakan diri dan talentanya pada soal Tato Tradisional Mentawai. Kebetulan saja ia bukan orang Mentawai. Dimana persoalannya?
Seorang seniman pada hakikatnya adalah pembaca gejala, pencari ulung dan kemudian beristirahat dan menyelami penemuannya, untuk kemudian temuan itu dikembalikan lagi pada masyarakat dalam bentuk karya. Apakah sungguh terjadi penipuan dan pencurian? Setiap orang berhak mengeluarkan kalimat atau isi kepalanya untuk menjadi konsumsi publik dengan berbagai argumentasi. Saya sebagai awam me-nyayang-kan kalimat itu, karena terjadi sebuah penghakiman terhadap pribadi, karakter, proses. Perdebatan yang dipaksakan, tanpa moderasi dan bukan merupakan “dialog teks”, yang dilakukan tanpa usaha mengenal lebih baik proses individu yang dituju. Sejarah seolah membenarkan bahwa kita disini terbiasa dengan tumbuhnya “Rezim Kebenaran” yang dijejalkan di pendidikan Indonesia ditengah kehidupan sosial masyarakat, dalam bentuk apapun, dalam menyikapi apapun.
Soal yang sedang diperdebatkan, dalam konteks kekinian. Dimana ia adalah bagian sebuah “gaya” kebudayaan dunia, termasuk di Indonesia. Ia ada di zaman ini dan diperbincangkan dalam konteks zaman tersebut.
Mengutip Grace Samboh,dalam tulisannya “Estetika Dalam Kompetisi Tato” :
Semenjak zaman modern, seni menjadi sesuatu yang profan. Kehidupan sekuler mengizinkan hidup dan berkembangnya berbagai macam kultus. Konteks zaman saja tidak lagi cukup. Konteks sosial yang spesifik dan common sense (generalitas) menjadi dua elemen penting untuk melihat dan mengapresiasi sesuatu.
Dilanjutkan dengan: Tato yang kita lihat kebanyakan hari ini bukan lagi soal ritual, kebutuhan komunal, ataupun jejak penyembuhan diri-tentu saja ( dalam lebih banyak kasus sekarang ini) fungsi tato dalam lingkungan masyarakat masih ada. Lebih banyak tato hari ini adalah pilihan personal untuk kegunaan yang juga sangat personal.
Tentu saja saya sangat menghargai tradisonalitas dan dan originalitas, karena saya adalah orang kampung yang terdampar dan mencoba belajar banyak dari pengalaman hidup menjadi anak yang lahir dan tumbuh dalam tradisionalitas. Sebagai contoh, motif Bunga Terung atau Uker Degok yang dikenakan lelaki Dayak Iban, kini telah pula dikenakan oleh individu yang berasal belahan dunia lain. Entah siapa yang membuat, dimana dan dalam konteks apa itu dibuat?
Uker Degok adalah motif dengan ritual dimana sang kolektor tato harus memenuhi syarat adat berupa tempayan kepada penato untuk membayar karyanya dan membayar simbol keterbukaan tubuh terhadap roh-roh dalam kosmologi Dayak Iban. Karena Pantang (tato dalam bahasa Iban) itu dipercaya sebagai pembuka jalan bagi dikenakannya simbol-simbol lain ditubuh setelah itu. (wawancara dengan Hendra Folks, 16 Juli 2011, diijinkan untuk dikutip). Lalu bagaimana jika seorang penato non Iban yang mempelajari seluk beluk itu, dan kemudian membuat tato tersebut di tubuh seseorang di New York sana, atau di sebuah convention mewah di Netherland sana?
Apakah sang penato serta merta kita anggap mencuri atau bahkan menipu seseorang dengan atribut dan karyanya?
Ketika seorang londho bertekad belajar menjadi Dalang, ia datang dan belajar dimana proses itu bisa ia dapat. Ia merekam, meneliti, membaca, menyimak bahkan hidup dan berlaku sebagaimana kehidupan seorang Jawa yang menjadi Dalang. Ia perlu menjadi Jawa karena untuk sebuah totalitas sebagai seniman ia perlu masuk, menyelami bahkan melepaskan dirinya dari kehidupan awal darimana ia berasal. Lalu apakah setelah ia bisa men-Dalang dengan baik, dengan segala atribut dan kelengkapan sesuai tradisi Jawa, aturan, bahasa, tata cara, tingkah laku, pakaian, ia dapat kita sebut pencuri dan penipu? Atau minimal penyerobot?
Ada etika dalam estetika dan estetika dalam beretika. Tanpa bermaksud memperdebatkan profesi Penato dengan karyanya sebagai sebuah alienasi (apalagi pribadinya). Namun saya berpendapat dalam kasus perdebatan diatas bahwa keinginan dan keberanian mengkritik dan seorang “asing” ( atau dianggap asing) yang berserah secara sungguh untuk mempelajari dan memilih jalurnya dalam berkarya adalah sama terhormatnya. Tentu keduanya telah melakukan usaha menggali, menyelami dan memberi standarisasi pada karyanya sebagai etika profesi.
Seseorang yang mendidik dirinya untuk diterima dalam convention Tattoo di beberapa even di Eropa tentulah seseorang yang juga diakui eksistensi dan (mungkin) militansinya. Perkara ia menggunakan atribut dan mengenakan penanda sebagai seorang dengan keprimitifan ,identitas atau profesi dari etnik tertentu, barangkali itulah yang disebut totalitas dan penghayatan peran dalam dunia pemeranan dan berkesenian? Sebagai seniman ia telah menterjemahkan seni menjadi dua wajah, yaitu sebagai pemuas penikmat karyanya, sekaligus merupakan tanggapan budaya-nya terhadap kehidupan yang dihadapi. ( Jakob Sumardjo, Catatan dari luar Pagar).
Tak baik begitu saja memagari diri sebagai pemilik tunggal sebuah peradaban budaya, bukankah masyarakat Maori, Tahiti, Dayak, Mentawai, Batak dll, bahkan Aztec dan Inca adalah pula kekayaan peradaban kebudayaan manusia. Kode-kode ritual patut (dan harus) kita hormati (dengan pemahaman dan proses belajar), namun pelaku atau karya yang menggambarkannya tersebut, hidup dan berkomunikasi sesuai dengan zamannya, dengan masyarakat yang hidup pada masanya. Makna itu berubah pula mengikuti karakteristik zaman serta masyarakatnya.
Tak baik pula menggiring debat dengan segala kelebihan pengetahuan dan wawasan untuk membunuh karakter seseorang. Semestinya yang berpendidikan tinggi, memberi pula contoh sebuah kebesaran hati untuk menerima kritik dan melatih orang lain untuk terbiasa berbeda namun bisa berdampingan.
Pada saat menyampaikan ini, ingin memberanikan diri menyampaikan kritik pada yang lebih berpengalaman. Bahwa akhirnya perdebatan-perdebatan pasti akan terjadi, namun sebaiknya tidak dalam rangka atau mengakibatkan terbunuhnya karakter seseorang. Perdebatan itu semestinya membuka peluang sebagai sebuah dialog membangun oleh para penggerak, (mungkin pula) organisasi yang menghimpun para penato baik yang professional maupun amatiran.
Tidakkah terbersit bahwa akhirnya orang-orang dalam dunia ini perlu mengorganisasi diri? Lalu setelah organisasi itu berjalan ada pula usaha menjaga dan memberi standarisasi sendiri, menuntut kualitas, berbincang dan berdebat dalam rangka sebuah kemajuan dan karakter yang baik? Karena suka atau tidak semua telah sama bersepakat (secara tak langsung) bahwa ini menjadi bagian dari globalisasi dan indutrialisasi yang menuntut kesempurnaan dan bermuara pada kesejahteraan bersama.
Hal ini terlihat gamblang pada even terbaru yang saya hadiri, bahwa kuantitas tercapai, keuntungan terpenuhi, sapa menyapa terjadi namun dialog, diskusi untuk perbaikan, kemajuan dan standarisasi sedikit dilupakan. Dinamika berkesenian di Indonesia masih di dominasi dan terlokalisir di Jawa atau kota besar. Ke tidak seimbang an ini juga merupakan bagian ke-alpa-an sebuah generasi tentang pendidikan “identitas” pada generasi setelahnya. Harus diakui, Tato telah tumbuh di Indonesia sebagai sesuatu yang adiktif dan dicari-cari, namun masih pula dihujat dan mengalami berbagai penentangan serius. Untuk itulah dibutuhkan sebuah soliditas yang memberi ruang koreksi, evaluasi (mengutip Lois Carpe Diem dalam Prelude Festival Tattoo Istimewa) antara para penggiatnya. Pendek kata penggiat tato di Indonesia perlu mengorgansisir diri dengan lebih serius demi kualitas dan kemajuan bersama.
Berbeda dan perdebatan itu penting, selama dilakukan dengan baik dan dewasa untuk mencari sebuah kesepakatan. Bila kesepakatan tidak kunjung ditemukan, setidaknya kita sudah mencoba untuk berani berpendapat dengan tetap saling menghormati satu dengan yang lain.
Salam bagi semua elemen dan penggiat dalam dunia Tato Indonesia.
ampe berlinang air mata bacanya. semoga dunia tato Indonesia semakin menuju ke arah yang lebih baik :))
BalasHapus