Tatto, identifikasi identitas, dan nasionalisme.
Sebagai panduan pemakalah dalam diskusi: Me-redefinisikan Tatto, Berpikir Ulang Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 17 Oktober 2010 yang diselenggarakan oleh IMPULSE. (Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies)
Tato, atau apapun istilah lain penyebutan-nya adalah produk kebudayaan. Kebudayan yang lahir dari peradaban manusia. Catatan ilmiah, penemuan, pengungkapan diberbagai belahan benua di dunia, bahwa di Borneo (baca:` Kalimantan, Indonesia) pernah ada sekelompok manusia yang mengggunakan Tato sebagai identitas dan penanda dalam kelompoknya. Di Kalimantan, Tato bagi masyarakat Dayak memang bukan sekedar hiasan tubuh. Ia adalah gambar abadi yang sungguh memiliki posisi tersendiri yang sulit kita terjemahkan secara sederhana: Baik dan buruk.
Kaum perempuan Dayak Kayan mendapat penghormatan dengan dikenakannya tato dilengannya, diruas-ruas jarinya. Pada masa itu, pemakaian tato itu adalah gelar kemahiran dalam mencipta bentuk/motif/ukiran baru/variasi dalam menenun kain atau merangkai manik. Perempuan Kayan yang bukan bangsawan akan dengan bangga mengenakannya, karena mereka “dianggap”, dan tanda itu membuat orang menyepakati status tersebut. (Hal ini hampir mirip dengan seorang bujang pemanin Sapek. Banyak orang yang bisa memainkan Sapek, namun sedikit yang bisa mencipta pola, irama, yang berbeda dari pendahulunya. yang kemudian diakui oleh komunitas).
Eksistensi dan status kedewasaan seorang lelaki dalam pergaulan masyarakat Dayak pada masa itu ditentukan pula oleh spesialisasi masing-masing orang dalam berbagai bidang. Berburu, menyelam/mencari ikan, bermain Sape’, berladang, bertarung, menempa besi, termasuk mengayau. Keahlian (dalam hal ini adalah :sesuatu yang tak biasa), dianggap luar biasa, mahir dan tak semua orang mampu melakukannya. Tato digunakan sebagai salah satu penanda itu. Motif dalam Tato Dayak pun tak dikenakan dengan mudah. Ada aturan, norma yang disepakati dalam adat. Bagaimana motif naga diperlakukan, dimana motif Enggang dikenakan, bagaimana motif tertentu hanya layak digunakan bangsawan, ksatria, dan yang mana yang berhak dan layak dipakai oleh masyarakat biasa.
Pengenaan motif ini berkaitan dengan kosmologis dan falsafah serta konsep ke-Tuhan-an orang Dayak pada masa itu. Setiap motif yang dikenakan pada benda apa saja (termasuk kulit) serta merta merupakan sebuah sikap pasrah dan penyerahan diri kepada roh serupa dalam motif-motif tersebut. Dengan harapan bahwa roh yang dipuja serta merta akan melindungi sang pemakai atau tempat dimana motif itu dikenakan (Tiang rumah, dinding, Sandung,Perisai, dan Tubuh).
Catatan diatas membantu menerangkan, bagaimana Tato bukan hal sederhana dalam konteks keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Dayak dimasa silam. Kini ketika Indonesia sudah 65 tahun merdeka. Orang Dayak dihadapkan pada situasi bahwa tradisi Tato dan adat serta pusaran kebudayaan-nya tercerabut. Bahkan secara sistematis eksistensi “Dayak” sebagai bagian ke-Indonesia-an, menjadi kabur dan juga semestinya layak dilakukan re-definisi kembali.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tato tradisi Dayak (mungkin juga Mentawai) mengalami kemunduran bahkan kepunahan:
· Berakhirnya budaya Ngayau.
Budaya Ngayau, adalah budaya Ksatria Dayak dimasa silam. Ada aturan adat, norma dan etika yang di sepakati dalam melaksanakan Ngayau. Keberhasilan seseorang lelaki dalam mengayau ditandai dengan tato pada tubuhnya. Dayak Iban, Kayan, Ngaju, Kenyah, memiliki ciri masing-masing yang di adaptasi pula oleh kelompok-kelompok lain yang bersentuhan dengannya, (seperti Dayak Punan). Mengayau adalah adat, ritual yang sarat dengan tradisi lisan yang tidak boleh sembarang dilakukan, sportif, mempunyai aturan tertentu karena mereka sangat taat adat. Dalam konteks adat inilah hendaknya kegiatan pengayauan dimaknai. Pemahaman mengenai hakikat dan maksud pengayauan akan hanya dapat dimengerti jika dalam ruang lingkup struktur kepercayaan tradisi lisan Dayak itu sendiri. Adat pengayauan itu sendiri sesuatu yang misteri, kaya makna kekuatan supranatural, tidak dilakukan sembarang tempat, sembarang orang. Berdasarkan adat itulah pergi mengayau mutlak dijadikan syarat adat yang mau tidak mau harus dijalankan oleh setiap orang yang bersangkutan. Karena di samping pembebasan diri dari pembatasan pergaulan hidupnya, mengayau merupakan kesempatan baik untuk mengangkat nama, terkenal dan disegani. Pada sub Dayak tertentu, Kayau dan keberhasilannya akan dimaknai dengan Tato. Tato Bunga Terung pada orang Iban,cacahan pada jari-jari orang Kayan sebagai contoh.
Pada 1894 pemerintah kolonial memprakarasai sebuah pertemuan yang di sebut pertemuan Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah. Dimana seluruh pembesar adat, panglima perang Dayak diseluruh Borneo berkumpul untuk menyepakati berakhirnya perang antar kelompok. Awalaupun setelah itu pengayauan tetap terjadi, namun eskalasinya tak lagi besar. Dengan berakhirnya budaya ngayau, penandaan dalam bentuk Tato juga perlahan mulai ditinggalkan.
· Runtuhnya Rumah Panjang.
Rumah Panjang adalah pusaran budaya dan tradisi. Ditempat inilah perpustakaan dan lembaga pendidikan alami orang Dayak terjadi. Pen-delegasi-an, penanaman dasar moral,etika,dan pembelajaran konsepsi ke-Tuhanan dan filosofi hidup dimulai dari Rumah Panjang dan alam (Hutan,sungai) sebagai lahan ptakteknya. Ketika satu persatu Rumah Panjang di rubuhkan, dimulailah proses yang lebih individualistik.
Selain faktor diatas, masih terdapat faktor lain yang sifatnya lebih eksternal.
· Masuknya agama (Islam, Kristen, Katolik)
Dalam ajaran agama-agama terdapat himbauan, larangan dan sangsi mutlak bagi pendosa: Surga atau Neraka, hamba Allah atau hamba Setan. Agama membentuk pemahaman yang berbeda dengan konsep ke-Tuhanan yang sebelumnya telah ada ditengah masyarakat. (Pasca peristiwa 1965, pemerintah Republik Indonesia mewajibkan seluruh warga Negara untuk memeluk agama resmi. Dayak-Dayak yang tidak mengindahkan memilih menyingkir lebih jauh kedalam hutan atau membuat pemukiman baru.
Persentuhan manusia Dayak dengan masyarakat lain sesungguhnya sudah dimulai sejak lama melalui transaksi perdagangan, barter dan apapun bentuknya. Termasuk dengan peneliti-peneliti Eropa yang merambah rimba Borneo untuk kepentingan botanologi, topografi, antropologi, kolonial. Selain penyebaran agama. Transmigrasi yang bergelombang banyak memberikan wawasan baru kepada orang Dayak mengenai cara, pola, hidup yang lain.
· Persentuhan dengan Aparat Negara /Militer secara intens terjadi saat gelora “Ganyang Malaysia” dikumandangkan. Banyak pemuda dan tetua adat dan panglima, di mobilisasi untuk membantu tentara. Namun pada perkembangannya pasukan “Ganyang Malaysia” ini ditengarai terpecah (atau di klaim) disusupi komunis. Krisis politik saat itu menyeret komunitas Dayak pada situasi yang sulit dan bahkan tak mereka mengerti.
Orang Dayak di mobilisasi berhadapan dengan etnis Tionghoa (van hulten) dan tentara bersenjata lengkap. Di mulailah suatu babak pengetahuan baru, dimana tindakan represif tentara, penangkapan, vonis tanpa pengadilan memperkenalkan Dayak-dayak pada betapa kuat dan berkuasanya negara.
Persentuhan ini memulai sebuah komunikasi dan persentuhan “gaya hidup” baru secara intens. Setelah Operasi ini selesai, ternyata tentara tak hanya meninggalkan baraknya di hutan dan di sekitar perkampungan, tapi juga doktrin-doktrin, pedoman hidup sehat, dan “mengajarkan” cara hidup yang Indonesia (yang lebih manusia). Mirip seperti yang disampaikan Coomans bahwa orang Dayak “dibudayakan” demi kepentingan image Indonesia sebagai negara yang progresif.
Medio tahun 1980-an, seperti yang ditulis pula oleh Hatib Abdul Kadir Olong dalam bukunya (yang sangat bagus dan sangat membantu) berjudul Tato. Telah terjadi pembersihan besar-besaran, sistematis dan terorganisir terhadap para kriminal (Gali), terutama di kota besar di Jawa. Memang konteks perlakuan itu umumnya terjadi di Jawa, namun dampak berita, kabar melalui media sampai pula di Kalimantan.
Semakin kompleks-lah masalah yang dihadapi Tato tradisional Dayak, budaya dan tradisi yang hidup jauh sebelum Indonesia merdeka. Ada kabar bahwa banyak Inai-inai yang memutus telinga panjangnya, apai menyetrika tatonya, dan yang tak mau berubah mengurung diri dikampung. Jangankan berangkat untuk mendaftar sekolah atau menjadi pegawai negeri, menjual hasil ladang saja mereka harus berpikir tujuh kali. Lebih baik sengsara daripada harus berurusan dengan polisi dan tentara.
Dalam kebingungan itulah masyarakat Dayak dengan tradisi Tato itu hidup menjadi Indonesia. Kebingungan itu (seperti) sengaja dibiarkan, karena dalam kebingungan itulah seluruh elemen masyarakat tersebut sebenarnya mengalami teror. Jika ketua adatnya, panglima, baliatn (dukun/orang yang sangat dihormati) sudah tak lagi punya daya lawan secara mental, apalagi masyarakat biasa. Dalam kebingungan itu pula sesungguhnya Nasionalisme dan Ke-Bhinekaan Indonesia harus diterjemahkan oleh masyarakat Dayak (dan kelompok lain) pada masa itu.
Era reformasi dimulai, ada gejolak baru dalam pencarian itu. Saat kebebasan ber-ekpresi dirasakan. Di Pontianak (mungkin) 5 dari 10 remaja Dayak mengenakan Tato. Tato menjadi sebuah penanda “baru” ke-Dayak-an (terutama setelah Kerusuhan Sanggau Ledo 1997-Sambas 1999, semakin banyak pemuda Dayak yang menato tubuhnya). Di Yogyakarta juga demikian, terjadi sebuah pencarian yang arahnya mengalami kegamangan. Generasi Dayak 1980-an keatas (terutama yang tak lagi bersentuhan dengan Rumah Panjang) jelas sudah mengalami pengkaburan jika tak mau dikatakan tercerabut dari akarnya. Jangankan Tato adat, bahasa Dayak pun banyak yang tak lagi bisa menggunakannya.
Tak ubahnya dengan jutaan anak muda didunia ini, teknologi dan berbagai kemudahan merambah sampai kesudut terjauh dunia ini. Teknologi membuat dunia hanya sebesar layar.Tato kini lahir kembali, ia hadir sebagai sebuah semangat baru yang melanda pemuda-pemuda Dayak yang tercerabut dari akar budayanya. Tato menjadi gairah baru bagi kaum metropolis. Personil RHCP dan selebritas dunia mengenakan “bunga terung” yang begitu sakral bagi orang Iban. Di Yogyakarta, banyak pemuda non Dayak yang kini meminta seorang Tatto artist memasang secara permanen Kelingai, Pasun Nyalak, Ketam Ngerayap, Tedong Beambai pada tubuhnya. Ketika Tato menjadi konsumsi dunia seperti saat ini (barangkali) akhirnya kita menyadari bahwa Tato (dengan segala predikat yang diembannya) adalah bagian dari akar budaya nasional, adalah pula elemen tradisi yang tak terpisahkan dari tegaknya harkat martabat Republik ini dimata dunia.
Term of Reference Impulse. “Jika cinta memang menyatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya” (Seno Gumiro Ajidarma).
Tesis Ernest Renan soal bangsa: Bagi Renan, bangsa adalah sebuah jiwa atau suatu asas ruhani yang terbentuk karena kepemilikan bersama atas sebuah warisan kenangan yang kaya. Terlebih kenangan akan pengorbanan di masa lalu. Di mana egoisme sektoral-kesukuan diredam di bawah panji nasionalisme, bahasa Indonesia dan bhinneka tunggal ika demi terwujudnya suatu cita mulia bernama kemerdekaan.
Nasionalisme itu “rasa”, perasaan yang tak bisa dibuat-buat, seolah-olah. Ia akan bergerak diam-diam dalam hati dan timbul kepermukaan seperti darah yang mengalir menggerakkan setiap elemen tubuh.
Generasi saat ini (termasuk saya) kelompok yang dianggap latah dengan segala macam bentuk trend pakaian, gadget, bahasa, lagu, film dan sebagainya yang melanda dunia melalui aneka perangkat teknologi.
Jika melihat gejala pada anak muda Dayak yang kini kembali ingin bertato dengan pemahaman yang samar, bahwa nenek moyangnya pernah sangat meng-sakral-kan hal tersebut. Terlihat sebuah keterputusan pendelegasian, pewarisan tradisi, budaya, dan pendidikan alami yang mereduksi sejarah budaya-nya. Disaat bersamaan lembaga pendidikan formal (pada tingkat dasar) mencipta orang-orang pintar yang tak berbasis budaya, bahkan tak tau manusia jenis apa dirinya.
Otonomi daerah memberikan keluasan dan keleluasaan bagi pemerintah lokal dalam menentukan kebijakan. Di Kalimantan, (khususnya Kalimantan Barat dan mungkin juga Mentawai) tak pernah saya jumpai suatu materi yang menjelaskan Tato tradisi. Tak usah mengajarkan, bahkan sekedar menyebutkan saja (sekedar mengidentifikasi) tidak ada. Mengutip catatan wawancara Adi Rosa bahwa dalam buku Seni Rupa Indonesia yang diterbitkan Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975) dan buku Sejarah Seni Rupa Indonesia yang diterbitkan melalui Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Depdikbud (1982), tidak ada membahas masalah tato di Indonesia.
Pendidikan formal dan non formal seperti apa yang telah anda tempuh untuk memahami nasionalisme dan menghargai multikulturalisme? Sebaiknya mulai dari sejauh apa nasionalisme (yang didalamnya termaktub penghargaan terhadap multikulturalisme) sesungguhnya itu ditanamkan pada sebuah generasi? Dalam kondisi apa dan dalam konteks apa? Jika seperti yang anda dapat ketika SD (seperti yang saya alami di Sanggau Kapuas tahun 1981-1986) bukanlah penanaman nilai nasionalisme, tapi pemaksaan pengakuan terhadap eksistensi negara dan nilai-nilai semu yang mudah sekali berbelok ketika seseorang mulai paham sesuatu diluar buku wajib, bahkan bisa berubah cara pandang setelah bermain bola di lapangan, lalu mandi telanjang di Sungai Kapuas.
Kegamangan pemahaman suatu generasi kini (anak bangsa) terhadap nasionalisme dan penghargaan terhadap perbedaan (multikulturalisme) tak lepas dari kebingungan generasi pendahulunya serta bangsa ini mendidik mereka. Sebuah generasi belajar dan menduplikasi kecerdasan, etika, norma yang diperlihatkan oleh generasi diatasnya. Dengan demikian sebaiknya diusahakan rekonsiliasi antar generasi diantara kita, seluruh elemen bangsa.
Keadilan terhadap setiap elemen budaya bangsa, peluang yang sama terbuka untuk menjadi sebuah pengkayaan terhadap budaya nasional. Dengan kesetaraan, nasionalisme dan penghargaan terhadap multikulturalisme dapat dihargai dan tertanam pada generasi (yang“gadget”) saat ini.
Kita akan terlalu cepat mewacanakan Nasionalisme yang berkibar-kibar dan berwarna merah berani, jika seluruh elemen dalam negara ini tak mampu dengan kepala dingin melihat dan mengobati luka-luka masa lalu, menuntaskannya. Negara hendaknya mampu menjadi ruang publik yang sama luasnya bagi setiap elemen untuk menterjemahkan Nasionalisme berdasarkan basis tradisinya. Pancasila yang adiluhung itu diamalkan sewajarnya, seperti sungai yang mengalir pelan dan menghidupi. Sikap-sikap pemaksaan, pengendalian, membuat Pancasila menjadi alat penyeragaman budaya di Indonesia. Negara justru berwajah kaku dan mengelompokan masyarakat dalam lapisan-lapisan yang dikotomik dan terpolarisasi. Akibat sikap Negara kita semua kini mengalami apa yang dinamakan Jawa-luar Jawa, Pribumi-Non Pribumi, Kiri-Kanan, Pro-Kontra Pancasila dsbnya. Termasuk saat kita mulai juga membuka pintu untuk sebuah pembicaraan multikulturalisme.
Tato, sebagai salah satu produk budaya itu dikenal dan dapat dibedakan oleh generasi yang paham budaya. Siapa yang mengenakannya, apa konteksnya, apa motivasinya, yang mana yang tradisi, seni, karya dan terhormat, dan yang mana yang selalu disorot kameramen TV ketika seorang kriminal tertangkap. Tato tidak pernah kriminal, yang kriminal adalah manusianya.
Lalu, ketika kita mencoba meredefinisikan Tato. Ia adalah bagian dari kebesaran Indonesia (betapa haram, udik, kotornya ia) yang memang beragam. Ia semestinya dipelajari, diteliti, dilihat sebagai bagian tradisi sejarah budaya bangsa dan dunia. Meminjam kalimat Afrizal Malna: bahwa Indonesia adalah sebuah diskusi politik dan budaya yang belum selesai kita bicarakan.
Salam Budaya
Iwan Djola Yogyakarta, 15 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar