advertise

08 Juli 2011

Belajar memahami MULTIKULTURALISME: melalui Pendidikan Seni


Belajar memahami MULTIKULTURALISME: melalui Pendidikan Seni

Oleh: Iwan Djola

Multikultural menurut kamus istilah berarti : berkenaan dengan lebih dari dua kebudayaan. Sedangkan Multikulturalisme sendiri dimaknai sebagai keanekaragaman kebudayaan dalam suatu komuniti atau bangsa.
Dengan sadar atau tidak, multikultural telah menjadi ilham sebelum Indonesia diproklamirkan. Keberadaan aneka suku dan budaya membuat negara ini menjadi sangat kaya dengan perbedaan yang ada di dalamnya. Siapapun boleh menghitung ada berapa suku yang hidup berdampingan sepanjang Sabang sampai Merauke, dan ada berapa pengelompokan budaya yang berkembang menyertainya.
Pembicaraan mengenai multikulturalisme sebagai konsep maupun ideologi tak akan lepas dari sebuah cita-cita untuk menemukan sebuah tempat yang damai, indah dan memungkinkan bagi setiap kelompok tersebut untuk hidup secara berdampingan. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan kita semua sebagai manusia untuk mengejar standar hidup dan kesejahteraan duniawi. Muara yang paling jelas adalah Nasionalisme sebagai satu Indonesia. Namun pada perjalanannya tak semua proses persentuhan budaya yang didambakan ideal dan sesuai dengan pikiran dan khayal. Tidak selamanya asmilasi dan integrasi yang terjadi dapat berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Tak pelak lagi Indonesia sebagai negeri dengan populasi besar dan keanekaragaman paling kaya di dunia telah mengalami banyak sekali ujian dan cobaan berkaitan dengan permasalahan tersebut diatas.
Bagaimana dengan Kalimantan Barat?
Dalam sebuah wawancara yang dimuat Kompas (10/2/2007), William Chang seorang pengamat permasalahan sosial dan Rektor STT Pontianak menyampaikan bahwa Kalimantan Barat telah menjadi provinsi sebagai “Laboratorium resolusi konflik” dan menjadi penelitian dan pengamatan oleh banyak pihak. Tak hanya dari dalam tapi juga dari luar negeri.
Sungguhkah Kalimantan Barat telah berhasil menjadi daerah yang menjunjung tinggi multikulturalisme dalam sendi kehidupan masyarakatnya? Siapa yang berhasil sesungguhnya? Pemerintah Daerahkah? Tentara dan Polisi? lembaga-lembaga, Ataukah masyarakatnya?
Pengalaman dalam konflik membuat Kalimantan Barat pernah menjadi salah satu daerah “rawan”. Bahkan indikasi itu tetap ada dengan terus dipertahankannya Kodam Tanjungpura yang sebelumnya sempat di alihkan di provinsi lain di Kalimantan. Hal tersebut memang tak serta merta menjadi ukuran, namun Kalimantan Barat memang memiliki sejarah panjang mengenai konflik.
William Chang juga menyampaikan bahwa gesekan yang terjadi adalah permasalahan budaya dan filsafat hidup yang belum, bahkan tidak dikomunikasikan dengan jujur dan terbuka, sehingga persoalan lain, segera terakumulasi menjadi kebencian dan kemarahan dengan bentuk kekerasan fisik.
Lutfi Firdausi mengungkapkan keresahan yang sama dalam opininya (AP Post, Sabtu 3/2/2007). Bahwa sangat diperlukan proses asimilasi yang wajar,jujur, dan alamiah tanpa ada penggiringan atau bahkan pilot project untuk kepentingan kelompok tertentu.
Dibutuhkan usaha yang benar-benar mengedepankan kesadaran rakyat dari lapisan paling bawah.Bahwa menghormati manusia lain adalah sebuah kewajiban dan jaminan untuk dapat dihormati pula sebagai manusia. Keresahan ini beralasan sebab politisasi dengan berbagai metode sangat sering kita temui dibalik layar sebagai ketidak jujuran baru yang menyakitkan.
Pemerintah Daerah dapat memulainya dari perbaikan pada semua infrastrukur pendidikan dasar, menengah dan atas. Termasuklah didalamnya kurikulum dengan muatan lokal yang sesuai dengan potensi daerah dan budaya lokal. Pendidikan merupakan pintu penyadaran yang baik dimana masyarakat akan semakin terbuka wawasannya terhadap pengetahuan baru dan persentuhan dengan orang lain di luar keluarga serta lingkungannya.
Tomasevski mmengungkapkan tiga pokok pikiran seperti dikutip Bpk.Aswandi (AP Post Senin,9/10/2006) yaitu; (1) pendidikan sebagai hak sipil dan politik mempersyaratkan pemerintah untuk mengizinkan pendirian sekolah yang menghargai kebebasan terhadap pendidikan dan dalam pendidikan; (2) pendidikan sebagai hak sosial dan ekonomi mempersyaratkan pemerintah menjamin pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi anak sekolah; dan (3) pendidikan sebagai hak budaya mempersyaratkan dihargainya keragaman, khususnya hak bagi kelompok minoritas dan penduduk asli.
Ini berkaitan dengan pepatah “ Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Pertanyaan selanjutnya siapakah yang harus menghormati budaya lokal ditengah persentuhan dan pembauran yang bersentuhan langsung dengan budaya lain?
Pertama yang wajib menghormatinya adalah kita sendiri masyarakat yang lahir dari budaya tersebut dan menjadi pendukungnya. Harapan terhadap pendidikan dengan pola tersebut dikembangkan sebagai jawaban untuk sebuah kebanggaan, identitas, dan rasa memiliki yang terbina sejak dini. Koentjaraningrat (Kebudayaan,mentalitas dan Pembangunan) menyampaikan suatu syarat mutlak bagi eksistensi suatu budaya adalah kebanggaan, kekhasan, masyarakat pendukungnya. Saya tak bisa membayangkan, sebuah ketergesaan yang mengakibatkan tergerusnya budaya lokal, atau bahkan hilang sama sekali. Ketergesaan ini dapat mementahkan segala usaha kita untuk memahami multikulturalisme sebagai satu syarat kemajuan pembangunan. Masyarakat yang kehilangan kearifan budayanya akan menjadi kelompok tanpa karakter dan tanpa kebanggaan, ia potensial melahirkan fundamentalisme yang lebih ekstrim dari fanatisme.
Meminjam pokok pemikiran Anthony Giddens dalam Runaway World. Bahwa keterhimpitan identitas ini dapat terjadi disebabkan oleh tradisi yang terkepung oleh berbagai problematika modernitas dan globalisasi. Dan pada akhirnya keresahan akan identitas itu dapat berakibat fatal sebab ia tidak mentolerir perbedaan,kemajemukan, keragaman identitas. Ia akan meletakkan tradisi sebagai satu-satunya jalan dan kemungkinan melakukan dialog dengan dunia yang perdamaian serta kelangsungannya tergantung oleh dialog tersebut. Perkiraan ini telah terjadi di belahan lain dunia ini sebagai jawaban atas dominasi barat terhadap budaya, tradisi dan agama lokal.
Koentjaraningrat juga menegaskan bahwa hanya ada satu unsur kebudayaan yang dapat menonjolkan sifat khas yang saat ini masih dimungkinkan.Baik dalam nasionalisme maupun kedaerahan sebagai pendukung budaya dan karakter nasional. Yaitu : Kesenian
Kesenian menjadi bahasa universal yang mampu menembus batas-batas identitas, suku, agama dan kelompok. Ia mampu menjadi sebuah perekat oleh keindahan serta kedalaman makna dalam keindahan itu sendiri.
Pemerintah Daerah sesungguhnya menyadari dan mengetahui bahwa kesenian daerah, kesenian tradisi, budaya lokal merupakan sebuah modal yang tak boleh diabaikan begitu saja. Ia menjadi sangat penting untuk menjaga Kalimantan Barat menjadi sebuah daerah yang menerima kemajemukan tanpa harus kehilangan kebanggaanya terhadap identitas lokal. Namun apakah kesungguhan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan pemahaman itu talah berjalan baik, seimbang dan tulus? Itu yang perlu terus dikawal.
Untuk itu, tumbuhnya minat generasi muda hendaknya ditanggapi dengan usaha nyata dengan dikembangkannya sarana pendidikan seni, ruang publik, galeri, gedung pertunjukan. Kita bahkan memerlukan kawasan konservasi budaya dan seni di tengah kota Pontianak untuk menjawab hal tersebut. Taman Budaya provinsi dan Kabupaten hendaknya mampu dimaksimalkan memegang peranan itu. Sebagai jalur komunikasi antar pemerintah dengan kalangan seniman dan budayawan untuk terus berdialog tanpa henti, ia mungkin pantas kita sebut mata rantai awal konservasi tersebut. Kegiatan berkesenian sebaiknya tidak sekadar memunculkan nilai seni dari segi estetis belaka, melainkan juga dilengkapi dengan aspek manfaat lain seperti pencerahan, pemberdayaan, kesejahteraan, atau mempertinggi nilai- nilai kemanusiaan,"( Danny Setiawan Gubernur Jawa Barat dalam sambutan Dies Natalis STSI Bandung. Kompas, Rabu 30/8/ 2006).
Yang sangat perlu di perhatikan adalah membuat definisi dan pemahaman terhadap seni dan budaya, budaya tradisi secara tepat. Untuk kemudian dilakukan pembinaan dan pendampingan dengan formula yang tepat pula. Yang terjadi selama ini adalah instant, seni dan budaya tradisi hanya dieksploitasi dan dikeruk bagi kepentingan pariwisata yang cepat saji dan tidak mengakar pada masyarakat tradisi tersebut. Dalam sebuah diskusi di Bantul,ditegaskan pentingnya pemahaman tersebut, karena pariwisata adalah berbeda dengan pemahaman seni budaya dan tradisi, pariwisata sesungguhnya tak terlalu berpengaruh dengan eksistensi budaya tradisi.Tanpa ada pariwisata pun, seni dan budaya tradisi tak otomatis berantakan.
Kiranya harapan dan mimpi tidak berlebihan. Kalimantan Barat akan tumbuh dari sebuah kerja sama ditengah kemajemukan dan pluralitas yang menjadi kebanggaan dan kekuatan bersama. Berharaplah mengharapkan slogan diatas tak hanya sebatas spanduk yang manis dan berbunga-bunga.
Sungguh, bukan sebuah pusat perbelanjaan megah yang dapat dianggap identitas Pontianak dan Kalimantan Barat, tentu saja kita pantas sedikit malu karena terlanjur meniru. Penghargaan dan pengembangan terhadap seni dan budaya lokal menjadi hal yang tak boleh ditawar, ia menjadi warna utama daerah. Ditengah Perdebatan problematika Budaya Massa di dunia yang semakin global sebaiknya menyadarkan kita untuk tidak menjadi “anak bawang”. Dan yang membuat kita mampu tetap merasa sebagai seorang tokoh utama adalah : eksistensi seni, tradisi, budaya Kalimantan Barat.Ia adalah identitas.

Dalam sebuah tulisan Afrizal Malna menyampaikan : Indonesia adalah sebuah diskusi budaya dan politik yang belum selesai dibicarakan. Mungkin demikian adanya dengan Kalimantan Barat yang kita cintai. Dan dalam menyambut Pilkada Kalimantan Barat, perlu dicermati pasangan mana yang nantinya tak hanya sekedar menjual bunga-bunga. Tapi menanam bunga-bunga, untuk terus menjaga Kalimantan Barat yang multikultural dengan sebuah usaha serius melalui pembinaan seni dan budaya tradisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar