advertise

08 Juli 2011

Rekonsiliasi Kenangan Antar Generasi

Rekonsiliasi Kenangan Antar Generasi
Oleh: Iwan Djola


Membicarakan tradisi hampir saja menegaskan bahwa kita semua romantis, suka mengenang atau mungkin pendendam. Sebab apa yang kita bicarakan tak jauh dari rupa kenangan itu sendiri. Apa yang ada dalam pikiran kita dan apa yang telah terjadi dan menjadi hal yang terus menerus. Membicarakan tradisi, kita akan mengajak adat istiadat, kesenian, dan segala bentuk norma yang berkaitan dengan asal-usul kita sebagai manusia. Sebab kita sendiri mungkin tradisi itu, mengenai pengertiannya menurut kamus silahkan cari sendiri. Tradisi dapat terjadi dimana saja, entah jika diruang angkasa. Tetapi ia mengikat kita semua sebagai manusia yang mengakui dan selalu mencari. Sangat mudah mengaitkannya dengan masa lalu, keterbelakangan, dan kekunoan. Benarkah tradisi itu kuno? Adakah bedanya dengan tradisional? Untuk penjelasannya silahkan juga mencari. Prolog yang panjang tak selalu harus rumit.
Ketika kita semua ditanya kekhasan Indonesia, hampir semua akan menjawab : penduduk yang ramah, alamnya yang kaya, suku yang beraneka. Indah, sesuai propaganda pariwisata. Apa ciri kita? Ada yang menjawab Borobudur, Danau Toba, Gunung Semeru, Tugu Khatulistiwa, Masjid Jam'i, Gereja Katedral. Semua itu memang bisa menjadi tanda, tanda wilayah bahkan tanda sebuah peradaban yang telah lewat. Itulah kita semua, manusia yang dibatasi ruang dan waktu, manusia yang merencanakan sesuatu, manusia yang punya masa lalu, manusia yang mengatasi alam dengan akal budinya, manusia yang punya pengalaman dan belajar dari pengalamannya. Sebelum terlalu jauh, terkadang sayang meninggalkan masa lalu. Menyimpan foto kenangan, menyimpan sobekan surat cinta dibangku sekolah, bahkan bicarakan semua kenangan itu sebagai nostalgia dengan alasan : nanti untuk anak cucu. Dalam kebiasaan kita mengenang, konteks dulu selalu menjadi hal yang baik. Dulu, Adam dan Hawa tidak berdosa, dulu Hutan Kalimantan segar dan tak pernah menimbulkan kabut asap, dulu sungai kita jernih dan ikannya banyak, dulu parit-parit masih jadi tempat mandi karena bersih, dulu kita hidup rukun, dulu tak ada konflik, dulu tak ada bom. Dulu semua begitu indah. Kiranya tak salah jika kita mengenang, walau jadi agak sedih karena ia telah lampau. Tapi jika ia memang indah mengapa kini tak lagi menghormati kenangan itu sebagai jejak kita semua? apakah tradisi tak pantas di wariskan juga : untuk anak cucu ? Hutan Kalimantan Barat selalu menjadi masalah nasional setiap tahun, lalu kita sibuk berdebat dan menuding. Sungai kita tercemar oleh PETI dan illegal logging dan kita segera mencari kambing hitam, flora dan fauna semakin langka dan kita mengabaikannya, pengetahuan botani dan farmasi masyarakat kita perlahan lenyap waktu kita mulai bingung membedakan jenis pepohonan untuk mengajarkan kepada anak-anak sekolah Dasar.Kesenian, sejauh mana seni tradisi di kenal dan eksis ditanah sendiri? Kalimantan Barat, apa ciri khasnya? Enggang dan tengkawang? Rumah Panjang dan Keraton? Tugu Khatulistiwa dan makam Joang Mandor? Perlu diketahui, jika gempa di Yogyakarta melebihi 5,9 ritcher maka Prambanan candi yang megah itu akan rata dengan tanah. Sama halnya dengan benda mati yang lain yang kita kultuskan sebagai ciri kita di Kalimantan Barat. Ia dapat saja hilang dan musnah seiring dengan lunturnya tradisi kita, dan semakin jarangnya mengkomunikasinya kepada generasi berikut. Modernisasi memang dapat bersikap kejam terhadap tradisi, tapi tak berarti kita boleh mempermudah ia melakukannya.Keterpurukan kaum muda terhadap tradisinya tak hanya terjadi di Kalimantan Barat saja, namun kita jangan melegalkannya dengan tidak lagi mencoba memperbaikinya dengan serius. Ada yang terlalu sibuk dengan perbaikan ekonomi dan gedung perbelanjaan baru yang raksasa, gegap gempita politik, memajukan olah raga dengan niat yang seperti mercu suar. Itu semua sangat berarti, Sepak bola maju bukan tak baik untuk nama daerah kita, namun anak-anak muda itu tak lagi menghormati jejak kearifan tradisi dan perjuangan masa lalu generasi tua. Sebaliknya generasi tua menjadi lupa bahkan (maaf) terlalu sombong untuk mengakui bahwa ada yang keliru dengan pendelegasian, ada yang luput dari kerja besar masa lalu itu. Haruskah kita maju dan menjadi modern dengan keterpurukan generasi muda kita? Ada baiknya kita menimbangnya, dengan jernih dan tidak emosional, hanya karena tulisan ini. Ini hanya keresahan. Keresahan orang muda yang sebenarnya belum tahu banyak hal dan perlu menimba pembelajaran dari kaum tua dan pengalamannya. Dalam sebuah tulisan Goenawan Moehammad mengutip Konfusius : "orang tak dapat melihat dirinya di dalam air yang mengalir, tapi dia dapat melihatnya dalam air yang diam. Orang tua memang punya kelebihan : mereka adalah air yang diam itu".Untuk itulah orang muda harus mau berkaca. Setiap generasi perlu melakukan semacam pembicaraan dengan masa depannya, terlebih pada masa lalunya. Namun pembicaraan itu pula tak boleh lepas dari peranan kaum tua, bukan sebagai pabrik perintah saja tapi mitra diskusi dan pembekalan. Ketika sampai pada sebuah muara, kebijaksanaan itu harus pula tiba pada sebuah keputusan-keputusan yang memberi peluang dan membuka jalur bagi generasi muda, tentunya dengan kebijakan politik yang selalu saja terlihat licin dan kusam namun menentukan arah pembangunan. Pemerintah Daerah menjadi bagian tumpuan harapan itu, kebijaksanaan pembangunan tak hanya harus dinilai dari perubahan drastis bangunan kota yang menjadi metropolis dan berbagai pesona semata. Memberi kesempatan kepada kaum muda untuk meneruskan kontinyuitas tradisi Kalimantan Barat merupakan salah satu cara menentukan masa depan daerah ini. Kontinyuitas itulah barangkali dapat menjadi kunci. Jadi tak hanya sekedar mengenang masa lalu, yang indah dan bernostalgia dengan kenangan, berbagai elemen di Kalimantan Barat harus mau melakukan rekonsiliasi. Tanpa pembedaan dan basa-basi. Bahwa tradisi itu ialah diri sendiri, dan kita yang akan membuatnya menjadi pantas dikenal oleh generasi berikutnya. Mungkin 50 tahun yang akan datang saat tugu Khatulistiwa lebih kokoh berdiri, setelah 10 kali renovasi dan berlapis emas seperti Monas. Jika berumur panjang, semoga berkesempatan melihatnya. Tulisan ini dimuat di Pontianak Post 18 Nov 2008, dan dikutip secara utuh di buku "DAYAK MENGGUGAT", Tains Odop&Frans Lakon, pd halaman 200-2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar