Men-definisi-kan seorang Penato
Bertato, walaupun tidak bagus (dalam konteks teknis,estetis ), namun itulah bagian dari album hidup yang telah dilalui dan merupakan sejarah pribadi pula. Saya hanya penggemar biasa, tidak mampu membuat.
Menyepakati bahwa Tato (tattoo) di Indonesia adalah bagian dari tradisi di Nusantara adalah sebuah pemahaman saya saat ini. Bahwa menilik penelitian Khatib Abdul Kadir Olong dan Ady Rossa mengenai eksistensi Tato di berbagai daerah di kelompok-kelompok bangsa yang berintegarsi menjadi bangsa Indonesia, serta (mungkin) kecintaan terhadap takdir “ke-Dayak-an” yang suka tak suka harus dikenakan.
Walau harus diakui bahwa tidak semua pengguna dan penggemar tato memiliki intuisi tradisi dan wawasan menandai pemahaman individual terhadap tato yang dikenakannya saat ini. Namun geliat tato di Indonesia sangat marak dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga sesuatu yang tersimpan dalam peti dan tergeletak dipojok kamar, seolah dibuka, dibersihkan untuk kemudian dipelajari kembali sebagai sebuah realita yang tak dapat di belok-kan. Telah tumbuh subur kembali Tato di Indonesia, kali ini justru dikalangan kelas menengah dan generasi mudanya sebagaimana pengalaman kebudayaan selalu punya keterkaitan sosial yang berubah.
Bahwa pengguna tato semakin banyak sesungguhnya tidak dapat dijadikan sebuah neraca ukuran, Ia sebuah fenomena dari remah-remah pusaran budaya yang melanda dunia. Saat pusaran itu masih berbentuk hembusan, masyarakat tradisional diberbagai belahan dunia, termasuk nusantara telah mengenakannya sebagai sebuah lambang kebesaran dan penanda kemulian terhadap penghargaan kehidupan, kini dan sekarang.
Home studio atau studio tattoo, kini bukan suatu yang aneh. Belum banyak, namun cukuplah telah lebih terbuka dibandingkan dengan beberapa masa sebelum reformasi di Indonesia. Persoalan yang dihadapi Tato di Indonesia, tidak hanya soal stigmatisasi masyarakat padanya, namun pula bagaimana mendorong para penggemar tato (kolektor) menjadi kian terdidik dan memahami Tato itu sendiri. Disinilah peran Tattooist sebagai seorang produsen dan penyedia jasa.
Keselarasan pemahaman dua elemen (tattooist dan kolektor) inilah yang dapat membongkar tembok stigmatisasi tadi sehingga tato akhirnya dapat dihormati dan dipahami sebagai sebuah bagian seni di Indonesia. Kuncinya adalah: bagaimana etika tattooist dan kolektor itu sendiri memberi aksen dan artikulasi baru dalam imajinasi masyarakat.
Kolektor tentulah terdiri dari rentang kelompok usia yang terukur. Saya perkirakan setelah menginjak 17-18 tahun baru seorang muda berani mencari tahu dan pemahaman tentang tato bahkan tato artis yang ia kenal. Mereka mulai mengalami sugesti erotis, sugesti estetis, imajinasi yang mulai terang benderang mengenai tubuh namun gamang memperlakukannya. Sebaliknya jarang ada tato artis yang mapan (dari aktifitas tato) sebelum berusia 25-30, usia dewasa. Pendek kata, kolaborasi dua elemen ini haruslah dipahami sebagai sebuah sinergi, tidak hanya teori simbiosis mutualisme, bahkan rantai makanan dalam ilmu alam.
Tato artis adalah aktor utama, ia sebaiknya adalah orang yang dengan sangat sadar siap menerima pengakuan masyarakatnya, juga masyarakat komunitas di mana tato diperbincangkan. Bukan mengaku-aku, bukan mengklaim namun pengakuan itu datang oleh kontrol diri, eksistensi, konsistensi dan kualitas karya yang ditunjukkan ( mungkin sesuai spesialisasi).
Etika dalam gelombang ini adalah sebuah kesepakatan antara mereka, dan hal ini tak dapat terjadi hanya dalam jangka waktu yang singkat.
Harus kita pahami bahwa generasi muda Indonesia saat ini adalah kelompok yang hampir bahkan telah tercerabut dari akar tradisi dan budaya asalnya. Yang jamak adalah pesona MTV dan hedonisme yang terwakilkan oleh ikon-ikon yang mereka pilih dan sepakati sendiri. (mungkin) termasuk tato. Padahal Tato sendiri adalah hasil dari persalinan budaya yang jauh lebih tua, ia bagian dari tradisi, punya tata cara, seremonial dan bahkan filsafati.
Pada bagian inilah seorang tato artis sebaiknya juga adalah seorang pencari yang baik dan selalu haus pengetahuan dan membekali dirinya dengan dasar pemahaman kebudayaan yang memadai.
Seorang tato artis sebaiknya logis, sistematis dan rasional melalui usaha pencarian serta pemahaman yang serius serta kesadaran eksistensial terhadap seni, juga konsistensi serta penyerahan diri yang tak ternilai.
Anda dipersilahkan mendebat pendapat pribadi ini. Sejauh saya memahami, seorang Tattooist professional adalah juga penyedia jasa dan pembuat produk sekaligus. Namun yang terpenting sebelum komunikasi itu terjadi, ia telah jauh melihat kedalam, menggali, bahkan menempa dirinya dengan keahlian, pemahaman, ketenangan, serta kemapanan teknis dan mental yang tak mudah diraih. lalu diatas karang berangin itulah ia berdiri. Menjejakkan konsistensinya, tidak hanya sekedar untuk sebuah pengakuan semata, namun untuk bicara pula sejarah dan tradisi yang tidak dapat di belokkan dan menjabarkan sebuah etos kerja yang mempertimbangkan secara benar kemapanan kebendaaan dan ketulusan berkarya.
Hanya dengan bentuk yang (sangat) serius seperti ini saya kira Tato akan mampu mendapat tempat yang berbeda di tengah masyarakat.
Dengan segala hormat, Tak semua Tattooist adalah seniman. Sebagai seniman ia harus telah menterjemahkan seni menjadi dua wajah, yaitu sebagai pemuas penikmat karyanya, sekaligus merupakan tanggapan budaya-nya terhadap kehidupan yang dihadapi. Sebagai seniman, ia menjadi supervisi bagi diri dan karyanya sendiri, berteman serta menggali pengetahuan sedalam-dalamnya, apapun bentuknya rejeki dari kerja setelah itu adalah rahmat dan berkat dari Penguasa semesta dan leluhur yang telah mengajarkannya.
Untuk para pengabdi (mengutip sebuah judul lagu) tradisi itu, Salam damai.
Tulisan ini dimuat dalam MagicInk Free Tattoo magazine edisi 19 dengan judul : Melihat Tato dan Mencoba Mencernanya
Menyepakati bahwa Tato (tattoo) di Indonesia adalah bagian dari tradisi di Nusantara adalah sebuah pemahaman saya saat ini. Bahwa menilik penelitian Khatib Abdul Kadir Olong dan Ady Rossa mengenai eksistensi Tato di berbagai daerah di kelompok-kelompok bangsa yang berintegarsi menjadi bangsa Indonesia, serta (mungkin) kecintaan terhadap takdir “ke-Dayak-an” yang suka tak suka harus dikenakan.
Walau harus diakui bahwa tidak semua pengguna dan penggemar tato memiliki intuisi tradisi dan wawasan menandai pemahaman individual terhadap tato yang dikenakannya saat ini. Namun geliat tato di Indonesia sangat marak dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga sesuatu yang tersimpan dalam peti dan tergeletak dipojok kamar, seolah dibuka, dibersihkan untuk kemudian dipelajari kembali sebagai sebuah realita yang tak dapat di belok-kan. Telah tumbuh subur kembali Tato di Indonesia, kali ini justru dikalangan kelas menengah dan generasi mudanya sebagaimana pengalaman kebudayaan selalu punya keterkaitan sosial yang berubah.
Bahwa pengguna tato semakin banyak sesungguhnya tidak dapat dijadikan sebuah neraca ukuran, Ia sebuah fenomena dari remah-remah pusaran budaya yang melanda dunia. Saat pusaran itu masih berbentuk hembusan, masyarakat tradisional diberbagai belahan dunia, termasuk nusantara telah mengenakannya sebagai sebuah lambang kebesaran dan penanda kemulian terhadap penghargaan kehidupan, kini dan sekarang.
Home studio atau studio tattoo, kini bukan suatu yang aneh. Belum banyak, namun cukuplah telah lebih terbuka dibandingkan dengan beberapa masa sebelum reformasi di Indonesia. Persoalan yang dihadapi Tato di Indonesia, tidak hanya soal stigmatisasi masyarakat padanya, namun pula bagaimana mendorong para penggemar tato (kolektor) menjadi kian terdidik dan memahami Tato itu sendiri. Disinilah peran Tattooist sebagai seorang produsen dan penyedia jasa.
Keselarasan pemahaman dua elemen (tattooist dan kolektor) inilah yang dapat membongkar tembok stigmatisasi tadi sehingga tato akhirnya dapat dihormati dan dipahami sebagai sebuah bagian seni di Indonesia. Kuncinya adalah: bagaimana etika tattooist dan kolektor itu sendiri memberi aksen dan artikulasi baru dalam imajinasi masyarakat.
Kolektor tentulah terdiri dari rentang kelompok usia yang terukur. Saya perkirakan setelah menginjak 17-18 tahun baru seorang muda berani mencari tahu dan pemahaman tentang tato bahkan tato artis yang ia kenal. Mereka mulai mengalami sugesti erotis, sugesti estetis, imajinasi yang mulai terang benderang mengenai tubuh namun gamang memperlakukannya. Sebaliknya jarang ada tato artis yang mapan (dari aktifitas tato) sebelum berusia 25-30, usia dewasa. Pendek kata, kolaborasi dua elemen ini haruslah dipahami sebagai sebuah sinergi, tidak hanya teori simbiosis mutualisme, bahkan rantai makanan dalam ilmu alam.
Tato artis adalah aktor utama, ia sebaiknya adalah orang yang dengan sangat sadar siap menerima pengakuan masyarakatnya, juga masyarakat komunitas di mana tato diperbincangkan. Bukan mengaku-aku, bukan mengklaim namun pengakuan itu datang oleh kontrol diri, eksistensi, konsistensi dan kualitas karya yang ditunjukkan ( mungkin sesuai spesialisasi).
Etika dalam gelombang ini adalah sebuah kesepakatan antara mereka, dan hal ini tak dapat terjadi hanya dalam jangka waktu yang singkat.
Harus kita pahami bahwa generasi muda Indonesia saat ini adalah kelompok yang hampir bahkan telah tercerabut dari akar tradisi dan budaya asalnya. Yang jamak adalah pesona MTV dan hedonisme yang terwakilkan oleh ikon-ikon yang mereka pilih dan sepakati sendiri. (mungkin) termasuk tato. Padahal Tato sendiri adalah hasil dari persalinan budaya yang jauh lebih tua, ia bagian dari tradisi, punya tata cara, seremonial dan bahkan filsafati.
Pada bagian inilah seorang tato artis sebaiknya juga adalah seorang pencari yang baik dan selalu haus pengetahuan dan membekali dirinya dengan dasar pemahaman kebudayaan yang memadai.
Seorang tato artis sebaiknya logis, sistematis dan rasional melalui usaha pencarian serta pemahaman yang serius serta kesadaran eksistensial terhadap seni, juga konsistensi serta penyerahan diri yang tak ternilai.
Anda dipersilahkan mendebat pendapat pribadi ini. Sejauh saya memahami, seorang Tattooist professional adalah juga penyedia jasa dan pembuat produk sekaligus. Namun yang terpenting sebelum komunikasi itu terjadi, ia telah jauh melihat kedalam, menggali, bahkan menempa dirinya dengan keahlian, pemahaman, ketenangan, serta kemapanan teknis dan mental yang tak mudah diraih. lalu diatas karang berangin itulah ia berdiri. Menjejakkan konsistensinya, tidak hanya sekedar untuk sebuah pengakuan semata, namun untuk bicara pula sejarah dan tradisi yang tidak dapat di belokkan dan menjabarkan sebuah etos kerja yang mempertimbangkan secara benar kemapanan kebendaaan dan ketulusan berkarya.
Hanya dengan bentuk yang (sangat) serius seperti ini saya kira Tato akan mampu mendapat tempat yang berbeda di tengah masyarakat.
Dengan segala hormat, Tak semua Tattooist adalah seniman. Sebagai seniman ia harus telah menterjemahkan seni menjadi dua wajah, yaitu sebagai pemuas penikmat karyanya, sekaligus merupakan tanggapan budaya-nya terhadap kehidupan yang dihadapi. Sebagai seniman, ia menjadi supervisi bagi diri dan karyanya sendiri, berteman serta menggali pengetahuan sedalam-dalamnya, apapun bentuknya rejeki dari kerja setelah itu adalah rahmat dan berkat dari Penguasa semesta dan leluhur yang telah mengajarkannya.
Untuk para pengabdi (mengutip sebuah judul lagu) tradisi itu, Salam damai.
Tulisan ini dimuat dalam MagicInk Free Tattoo magazine edisi 19 dengan judul : Melihat Tato dan Mencoba Mencernanya
iwandjola@gmail.com
Iwan Djola
Bang iwan, ijin share di facebook ya... :)
BalasHapus