advertise

27 Agustus 2013

WAJAH “PANGGUNG” KEBUDAYAAN DAYAK Refleksi PBDN (Pekan Seni Budaya Dayak Nasional) 2013 di Gelora Bung Karno Jakarta.




Add caption

WAJAH “PANGGUNG” KEBUDAYAAN: Dayak
Refleksi PBDN (Pekan Seni Budaya Dayak Nasional) 2013 di Gelora Bung Karno Jakarta.
 



TIDAK mudah menggambarkan wajah utuh Kebudayaan di satu wilayah termasuk di Kalimantan. Menampilkan potret utuh Kebudayaan di Kalimantan memerlukan idealisme, kemampuan, keseriusan, dan keberanian juga cukup pengetahuan.

Sebab banyak hal saling kait mengait dan menjadi sebuah simpul yang harus diurai satu persatu. Namun pada suatu ketika demi kepentingan penelusuran, ilmu pengetahuan dan identifikasi identitas usaha itu harus dilakukan jua. Terutama bagi mereka yang diberi kewenangan untuk itu. Namun justru kini sebaliknya yang terjadi, masyarakat (suatu generasi) bahkan pemerintah (penyelenggara negara di berbagai lapisan) terkesan menampilkan kondisi Kebudayaan (secara lebih luas) di Kalimantan (juga Indonesia) dalam "Wajah Panggung" yang dikemas untuk maksud dan kepentingan tertentu, pesanan, instan.  Pembaca pastilah telah memahami hal tersebut.

Menurut penulis, menampilkan Kebudayaan dalam wajah panggung tersebut menjadi awal atau penyebab dari semua kemunduran pemahaman budaya bahkan pendidikan budaya di seluruh Indonesia dari tingkat pusat hingga pelosok wilayah kedaulatan Negara ini.

Wajah panggung adalah wajah yang dipoles, dengan make-up dan rupa-rupa rias. Ibarat seorang aktor yang sedang menjalankan peran, ia berias dan meninggalkan realitas hidupnya untuk menghayati peran itu. Berperan dengan rias yang perlu dan tak perlu, rias yang layak bahkan tak layak, yang minimalis juga yang futuris dan fantasi bahkan Topeng belaka.
Beberapa waktu lalu, bangsa ini disuguhkan sebuah perhelatan Pekan Budaya Dayak Nasional (PBDN 2013), yang diadakan di Jakarta pada tanggal 27-30 April 2013 di Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan Jakarta.
Acara ini menghadirkan 13 Kabupaten Kota dari Provinsi Kalimantan Barat, 13 Kabupaten kota Kalimantan Tengah, 13 Kabupaten kota Kalimantan Timur, 12 Kabupaten Kota Kalimantan Selatan, Kelompok Mahasiswa dari berbagai Kabupaten dan provinsi yang tergabung dari kelompok Jakarta, Malang, Bandung dan Malang serta dari mahasiswa Yogyakarta sebagai kontingen terbesar. Juga Sanggar-sanggar yang tersebar di berbagai kota di Jawa, serta Dewan Adat Dayak (DAD) dari setiap kota atau Kabupaten yang ada di Kalimantan dan daerah luar Kalimantan. Serta yang paling mencengangkan adalah indikasi keikutsertaan 111 Perusahaan yang memberi dukungan, yang tertera pula dalam katalogus tersebut. (sumber Katalogus Acara PBDN 2013).
Sesuai dengan judulnya Pekan Budaya Dayak Nasional 2013, tentulah merupakan sebuah peristiwa penting bagi eksistensi budaya Dayak serta aktualisasi dan revitalisasi nya.
Namun, bagi saya yang terjadi adalah wajah panggung kebudayaan. Acara berjalan tersendat dan tidak terorganisir dengan baik. Dua panggung yang dibuat seolah ingin membagi keramaian untuk menghindari penumpukan massa, namun pengunjung yang hadir bahkan tak cukup untuk dibagi dalam konsentrasi yang berbeda.
Dimulai dengan acara pembukaan oleh Wakil Presiden Boediono, mimbar berupa sebuah Stage yang lebih layak untuk sebuah festival Band remaja. Berikut hujan yang mengguyur dan ketidak siapan dan kebingungan panitia dalam mengemas susunan acara yang menjadi parade menunggu: siapa yang ada lebih dulu silahkan tampil untuk mengisi kekosongan panggung dan tidak terjadwalnya pementasan dengan rapi.
Para penari dan pemusik duduk berbaur (bahkan disamping panggung dan warung) dengan penonton tanpa ruang transit artis. Tak tampak kordinator lapangan yang menguasai medan bahkan tak terlihat seorang Stage Manager yang fasih menterjemahkan acaranya menit permenit.

Namun yang sangat disayangkan adalah esensi “Budaya Dayak” tersebut lindap entah kemana. Dayak di dalam acara tersebut seolah cukup diwakili dengan parade kostum tradisional, cawat, bulu ruai, taring babi dan rusa, tato, selendang manik, tarian, muda-mudi yang lalu lalang dengan kostum yang memang sangat “Dayak” di beberapa hari itu.
Diluar hal tersebut, semua menjadi simbol belaka. Tak ada Upacara adat Penutupan bahkan Pembukaan seperti laiknya kelompok bangsa beradat dan berbudaya. Tidak ada perbincangan serius soal materi strategis dalam “budaya” itu, bahkan seminar yang diadakan pun tak lebih dari serupa formalitas belaka.
Baiklah, memang semua hal tersebut diatas adalah persoalan teknis yang dapat menjadi pembelajaran, bisa dimaklumi sebagai awal membidani acara serupa selanjutnya.


Inilah wajah Panggung itu. Ketika kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur-unsur mulia pembentuk identitas suatu bangsa itu hanya di perlakukan sebagai komoditas cepat saji ala fast food, mengenyangkan  tak meninggalkan kesan pembelajaran yang baik bagi sebuah generasi. Secara sepintas dan simbolis kerumunan itu mempertunjukkan keanekaragaman budaya dan simbol kesenian dan atribut etnik maupun budaya dalam acara tersebut yang diwakili oleh perkumpulan maupun paguyuban etnik maupun kelompok seni budaya dan juga agama.
Ratusan bahkan ribuan peserta dari daerah dan pelosok Kalimantan datang dengan biaya pemerintah daerah, dengan harapan Dayak akan terlihat besar dan megah dimata Indonesia. Adat dan tradisi mereka dihargai dan diperlihatkan bukan sebagai sebuah mitos kebesaran masa lalu, tapi benar membanggakan sebagai kaum. Kaum yang lama terjerembab oleh akses poltik dan pembangunan, dan kini bangkit kembali.
Tapi yang terjadi adalah sebuah sandiwara dimana mereka tak lebih sebuag komoditas pemanis saja dari sebuah proyek besar dengan dana besar luar biasa, di Jakarta ibu kota Republik.

Sebuah tesis dinyatakan oleh Arnold Toynbee "kebangkitan umat manusia sangat bergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan tanggapan yang tepat terhadap masalah yang dihadapinya”, (Bost&Martin,1997).
Proses menjadi masyarakat beradab yang punya nilai apresiasi terhadap keberadaan budaya lain tanpa menjadikan budaya lain absurd karena harus inklusif dengan budaya mayoritas. Masyarakat yang merasa punya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kulturnya dan merasa ada ikatan kuat dengan,atau antara sub kultur satu dengan sub kultur lainnya.

Orang Dayak sesungguhnya cukup diuji zaman, karena hingga saat ini identitas itu masih ada dan menjadi identitas kolektif yang sangat kuat antara kelompok, sub kultur bahkan sub ordinasi. Di seluruh era pemerintahan di Republik ini, Dayak hanya menjadi komoditas dan obyek pembangunan. Sudah sewajarnya pergerakan itu dimulai, sehingga Indonesia tak kehilangan salah satu elemen utama wajah pluralisme negara ini. Gerakan itu harus melibatkan generasimuda sebagai mitra, sehingga pendapat Arnold Toynbe diatas menunjukan pada kita bahwa tanggapan langsung terhadap apapun yang terjadi soal Dayak dimasa kini menjadi sebuah keharusan yang tak dapat ditawar, oleh sebuah generasi. Apalagi di eliminir hanya oleh strata dan usia. Siapapun berhak dan wajib mengkritisi diri dan lingkungannya.

Dalam sebuah makalah seminar Pesta Seni Budaya Dayak X mahasiswa Yogyakarta, Roedy Haryo Widjono mengatakan: “Menurut Bernard Sellato (1989), berabad-abad lamanya para ahli genetika, bahasa dan etnolog bertengkar tiada habisnya dan berkutat dengan argumentasi keniscayaan, tatkala membedah kesejatian manusia Dayak. Namun, tetap saja tak terungkap secara tuntas misteri budaya pada komunitas adat Dayak. Bahkan, betapa sulitnya mendefinisikan apa yang dinamakan suku bangsa dalam konteks Dayak. Sekalipun terdapat banyak versi, namun pengelompokan etnik berdasarkan kesamaan hukum adat, bahasa, ritus kematian, jalur sungai dan kriteria lain, membuktikan adanya keragaman budaya dan perbedaan natural pada komunitas Dayak. Itulah yang disebut identitas kolektif. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam identitas kolektif, amat menentukan pandangan hidup dan pandangan tentang semesta, yang dialami sebagai kekuatan integratif dan pembuktian eksistensi manusia Dayak sebagai pribumi di Tanah Borneo”.

Jadi, ketika kita mulai ingin membicarakan “budaya” di Kalimantan, adalah omong kosong jika menafikan eksistensi Dayak sebagai sebuah kelompok kesatuan. Sehingga apapun produk dari sebuah diskursus dan perdebatan dalam konteks yang beragam, bila anda bicara soal budaya, tempatkanlah dengan terhormat Kebudayaan itu sebagai sebuah ruang dialog baru yang konstruktif untuk sebuah generasi penerus.
Kalimantan memang ladang subur, termasuk ladang subur bagi investasi yang sekarang secara rakus menghabisi banyak elemen adat yang menjadi penjaga terakhir eksistensi budaya itu. Pembangunan membutuhkan pengorbanan ujar seorang bijak, namun jika Majelis Adat Dayak Nasional atau Dewan Adat Dayak (di tingkat apapun dalam strukturnya) mau bersikap kritis dan elegan, acara seripa PBDN tak bleh diserahkan begitu saja pada swasta sebagai pengelolanya. Sudah sangat tepat dan pantas acara yang seharusnya membanggakan itu diurus
dan dilihat berhasil atau gagalnya oleh Dayak-Dayak muda yang sekarang bertebaran diseluruh Kota besar di Jawa.
Pendek kata MADN dan DAD tak boleh menunjukan “wajah Panggung” nya dalam peran sesungguhnya bagi eksistensi masyarakat dan budaya Dayak. Sebab sikap seperti itu hanya akan menjebak masyarakat pada sisi ekonomis semata, mereka bisa abaikan pendelegasian, keluhuran dan kearifan budaya itu hanya demi pesanan dan komoditas cepat saji. Itu sudah terjadi, namun acara besar yang baru saja terjadi itu menunjukan bahwa : MADN tak sungguh memahami di tataran mana gerakan besar ini harus dimulai. Untuk itu mari berdialog antar generasi, mari melakukan rekonsiliasi antar generasi, dengan wajah Dayak kita sesungguhnya, bukan wajah panggung,  dan wajah pesanan. Tabi’, Salam dan Hormat.

-Bandung 26Mei2013-
Iwan Djola.
Peminat soal budaya, terlibat dalam komunitas gerakan kaum muda Dayak di Yogyakarta, mengajar di Fakultas Seni Rupa&Desain, di sebuah PTS di Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar