advertise

27 Januari 2009

Tato adalah Identitas Budaya

Tato adalah Identitas Budaya
Abad demi abad ditandai oleh berbagai tanda dan simbol. Tato dengan dinamikanya, adalah juga merupakan penanda itu. Bahwa kemudian ia mengalami berbagai kontradiksi adalah perkara yang lain dan berbeda. Ia bagian dari sejarah peradaban manusia. Dalam kesenian khususnya seni rupa, ia menjadi sebuah media tua yang kini tumbuh kembali sebagai jejak seni yang memanfaatkan tubuh sebagai media sebelum modernisme.

Tatto (tato), Tutang, Pantang seperti yang dipaparkan bapak A Halim.R dalam opininya Seni Rajah Tubuh atau Tato (Pontianak post,Kamis, 3 Januari 2008) ada di seluruh benua di belahan muka bumi ini. Afrika, Amerika, Eropa, Asia, Oceania, juga di benua Australia. Pada awalnya ia merupakan sebuah komunikasi yang bersifat magis dan religius, ia dikenakan setelah melalui ritual yang tak mudah untuk dilakukan.
Fenomena yang dipaparkan dalam opini A.Halim.R adalah fenomena dalam modernitas yang tak dapat ditampik. Fenomena itu tak hanya terjadi di Indonesia khususnya Kalimantan Barat. Ia melanda seluruh belahan muka bumi yang demam fenomena budaya populer.
Tato dalam masyarakat Dayak baik Iban, Kayan (atau yang lain) yang dahulu sebagai penanda ritual, status, dan identitas kelompok tak lagi dipertahankan sesuai dengan konteks aslinya. Dunia menghendaki demikian, bahwa ia akan menjadi bagian dari budaya yang dimiliki dunia pula. Tato yang tergambar di dada Flea, bassis Red Hot Chili Peppers (RHCP). Tanda dan simbol yang dahulu melalui ritual dan terjaga kesakralannya, kini dikenakan seorang musisi rock dari belahan dunia lain berbasis budaya lain. Namun tato tetap bukan produk modernisme, ia lahir dan berasal dari budaya pedalaman, tradisional bahkan kuno. Ia hanya mengalami reborn, kelahiran kembali ditengah masyarakat saat kaum muda dengan lebih berani mengenakannya tanpa mengenal batas geografis, ideologi, etnik, gender, ras.
Tato merupakan peng-Indonesiaan dari tatto (English), secara harafiah dapatlah disimpulkan tato adalah sebuah gambar,visual, desain berwarna yang ditanamkan pada kulit melalui tinta dengan menggunakan jarum atau benda tajam lainnya. Kata tato sendiri mungkin diambil dari kata “tattau” dalam bahasa Tahiti. (Hatib Abdul Kadir Olong, h.83). Indonesia patut berbangga bahwa tato tradisi Mentawai (Sumatera) dan Dayak (Kalimantan) diakui sebagai bagian dari rupa tato kuno yang hingga saat ini sebagian kecil masih bertahan eksistensinya.
Bagi Kalimantan Barat, tato tradisi Dayak dan orang yang mengenakannya sesungguhnya adalah sebuah aset budaya. Walaupun kini patut disayangkan tak banyak lagi yang mengenakan pantang tradisi, namun eksotisme dan makna sesungguhnya patut dihargai. Berkurangnya minat generasi muda Dayak menyandang tato tradisi tak lepas dari kesadaran baru masyarakat, masuknya agama besar dalam tatanan hidup masyarakat. Namun yang paling membuat orang berfikir untuk bertato adalah fenomena “pembudayaan” Orde Baru bagi masyarakat, khususnya Dayak.
Dibalik keberhasilan ekonomi dan propaganda pembangunannya, Orde Baru adalah gurita, yang mencengkeram seluruh aspek kehidupan masyarakat ketika awal dan pertengahan ia berkuasa. Pemuda dan generasi yang sudah mawas tentu ingat dengan Petrus pada 1983-1985. Shock therapy yang dimobilisasi oleh negara demi sebuah alasan ketertiban dan keamanan. Eksistensi negara saat itu di akui oleh Alm. Soeharto (mantan presiden ke dua) dalam biografinya : Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Tato dengan mudah menjadi sebuah stigmatisasi kejahatan, kriminalitas dan keberingasan. Masyarakat kota di Jawa terhenyak dengan seringnya ditemukan mayat dengan tubuh penuh lubang peluru, tusukan dan bekas penganiayaan. Umumnya tubuh itu bertato.
Saya tidak mempunyai cukup pengetahuan dan data tentang apa yang terjadi di Kalimantan saat itu, namun dengan semakin mudahnya akses informasi mengenai seluruh rangkaian kejadian tersebut dapatlah saya bayangkan bagaimana kecemasan beberapa warga Dayak yang terlanjur bertato karena tradisinya. Perlakuan diskriminatif ini tak hanya menjadi sebuah ketakutan yang sengaja disebarkan, bahkan untuk menjadi seorang Pegawai Negeri konon tidak diperkenankan bertato. Bagi masyarakat yang memiliki tradisi tato ini tak hanya diskriminatif, namun menganggapnya tak ada. Sebuah hasil seni tradisi, jauh sebelum Indonesia merdeka dan identitas budaya serta merta terseret menjadi lambang kriminalitas, dan stigmatisasi itu hidup hingga kini.
Apa yang terjadi ditengah masyarakat muda saat ini di Kalimantan Barat (terutama kaum muda Dayak), sesungguhnya adalah sebuah pencarian baru, aktualisasi diri atas identitas budaya dan kebanggaan sebagai empunya tradisi. Eksistensi tato tradisi saat ini memang tak lagi up to date untuk dibenturkan dengan kekinian. Selain dalam agama Islam, dalam agama Kristen juga terdapat himbauan dan larangan untuk tidak ber-tato agar mencerminkan manusia yang merupakan citra Allah, norma dan “kepantasan” yang tertanam dalam masyarakat juga demikian.
Sesungguhnya Agama dan Seni akan selalu memiliki batas yang abstrak. Seni dan kebudayaan merangkum semua pola pikir, aktivitas sosial hingga hasil dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini agama juga dianggap merupakan hasil dari kebudayaaan manusia setara dengan kesenian. Tato tradisi (baik dengan ritual atau tidak) merupakan anak kandung seni dan kebudayaan, akan menjadi batu dan kerikil bila dipertemukan dengan konsep moralitas agama. Sebab agama akan mengurainya secara hitam dan putih, surga dan neraka. Mungkin akan serupa yang terjadi bila RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang ramai diperbincangkan dalam menterjemahkan karya-karya seni.
Sepatutnya Kalimantan berbangga hati, bahwa tato tradisi dalam masyarakat Dayak adalah salah satu acuan dan referensi kebudayaan dunia. Untuk itu ada baiknya ia diteliti, dipelajari dan dipahami sebagai identitas budaya. Sehingga ia tidak lagi disalah arti menjadi simbol sebuah ancaman ketertiban dan keamanan, ketidakberadaban.
Jika Muatan Lokal dalam silabus dan kurikulum tentang Kalimantan Barat telah dimulai di sekolah-sekolah, di era otonomi ini tato layak diangkat sebagai sebuah pengetahuan baru. Motifnya yang kaya, makna dan nilai serta keberadaannya (muatan lokal di Jawa memperkenalkan pula motif batik dari yang biasa hingga yang sakral dikenakan). Tidak bermaksud menghimbau generasi muda untuk bertato, namun untuk menyebarkan pengetahuan budaya. Sehingga bila tato memang tak lagi dikenakan sebagai sebuah tanda dan identitas, ia tetap hidup sebagai hasil dari seni dan tradisi di Kalimantan Barat. Selanjutnya akan terbina memiliki generasi yang paham tentang baik dan buruk, sejarah, serta apa, dimana, dan bagaimana ia layak dikenakan. Dengan demikian tidak mudah terjadi “latah” untuk ber-tato tanpa memahami makna didalamnya. **
* Tulisan ini dimuat di kolom opini Pontianak Post 6 agustus 2008iwandjola@gmail.com bidayoeh@yahoo.com.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar