AGI IDUP AGI NGELABAN
oleh : IwanDjola
“Mau makan direstoran,..Padang, bukan berarti harus ke Padang, semua ada disini kita tinggal menikmati. Mau makan buah pisang..Ambon, bukan berarti harus ke Ambon. Mau makan sayur Gudeg..Jogja, bukan berarti harus ke Jogja.” (cuplikan syair lagu Enno Lerian).
“Ada orang Batak, ada orang Jawa, ada orang Sunda, ada orang Ambon,ada orang Madura...Nggak disebut jangan marah.” (cuplikan syair lagu Dangdut Is The Music of My Country, ProjetPop).
Kita semua mungkin mendengar keseluruhan dua lagu berikut, penggalan syairnya sederhana biasa dan mungkin hanya kebetulan saja. Tapi ada pesan yang saya tangkap dari petikan syair itu bahwa dalam wawasan masyarakat umum, orang Kalimantan (terutama Dayak) tak populer dalam ciri dan identifikasi yang layak diungkapkan, kecuali keprimitifannya, kanibalisme, berekor, penguasa hutan, pengayau dan udik.
Orang Dayak telah bangkit! Kesan itu tersirat melihat gegap gempita representasi identitas Dayak saat ini. Salah satu indikator paling sahih adalah duduknya tokoh-tokoh Dayak sebagai Kepala Daerah di beberapa propinsi dan kabupaten daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Semarak peristiwa dan festival budaya Dayak dalam berbagai agenda pariwisata, revitalisasi lembaga adat dan semakin banyaknya kaum terpelajar Dayak yang menduduki posisi penting disuatu organisasi, lembaga, birokrasi atau partai politik.
Simbol tradisi segera menjadi lambang-lambang kebesaran ditengah gencarnya pembangunan di Kalimantan. Rumah Betang baru berdiri di berbagai tempat strategis, festival budaya, motif-motif, hiasan dan ukiran khas Dayak yang digunakan sebagai ornamen pada bangunan, rumah dalam perkotaan, dan perkantoran pemerintah. Ditambah lagi eksodus ribuan pelajar dan mahasiswa untuk belajar ke berbagai perguruan tinggi di Jawa. Beberapa poin itu barangkali cukup untuk memperlihatkan kecenderungan bahwa Dayak sedang berada pada jalur yang benar dalam usaha menyetarakan diri sebagai bagian dari bangsa “pembangunan” ini.
Pemerintah daerah dengan sadar menggalakkan sektor pariwisata sebagai pesona dan ladang penghasil devisa. Seperti terlihat diberbagai Kabupaten di Kalimantan Barat, pemerintah kabupaten atau kota masing-masing membangun betang-betang (lamin atau rumah panjang)baru. Ritual, upacara, kesenian dan simbol-simbol budaya Dayak direkonstruksi kembali. Dayak dan simbolnya seolah ada dimana-mana.
Ini jelas bertolak belakang dengan kenyataan masa silam. Jika menoleh pada sejarah, tulisan, buku, catatan perjalanan yang menggambarkan bahwa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala besar baik oleh kekuatan politik lokal, nasional, maupun kolonial. Citranya sebagai kelompok “kanibal”, “terbelakang”, “primitif” dan “liar” yang disebarkan media mempertegas marjinalisasi politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya yang mereka alami.
Harus diakui memang terjadi perkembangan yang positif bagi eksistensi keberadaan orang Dayak dan budayanya di Kalimantan saat ini (terutama di Kalimantan Barat) jika dibandingkan beberapa tahun silam, terutama saat Orde Baru berkuasa. Orde yang dibangun dengan ambisi besar, militeristik tanpa penghormatan budaya.
Apa yang terjadi pada orang Dayak saat itu bukan semata takdir, ia merupakan suatu bentuk keberhasilan Orde Baru (negara) merekayasa dan mempraktekkan kekerasan (terselubung) terhadap budaya dan asasi atas warga negaranya.
Kedaulatan orang Dayak dimasa silam adalah rumah panjang, hutan dan alam sekitar tempat mereka hidup dengan adat istiadatnya. Rumah Panjang adalah pusaran dan akar falsafah, perpustakaan budaya, ”ruang kelas” pendidikan bagi anak-anak Dayak. Hutan merupakan apotik dan supermarket bagi kelangsungan hidup mereka. Yang terjadi kemudian adalah penghancuran sistematis terhadap akar dan pusaran budaya tersebut. Melalui aneka program mengatasnamakan pembangunan, termasuk dengan mendatangkan transmigran secara bergelombang, dengan dalih pemerataan penduduk dan transfer teknologi dan pengetahuan.
Sejak ratusan Rumah Panjang dirubuhkan atas anjuran (baca: perintah) pemerintah dan tentara, sesungguhnya telah dimulai proses pengkerdilan dan dehumanisasi. Adat dan aturan lokal tak lagi memiliki legitimasi yang kokoh bagi keteraturan berrmasyarakat. Perangkat adat dibeli dan dibuai dengan mimpi serta fasilitas untuk mempermudah masuknya perusahaan besar dan pemodal yang hanya berorientasi pada keuntungan materi semata. Ketika hutan dan tanah adat telah sedemikian mudah dikuasai pemodal (atas restu pemerintah), semakin terpuruklah ekistensi Dayak di Republik ini, terutama di tanah kelahirannya sendiri. Tentu saja faktor-faktor tersebut merupakan kombinasi dari berbagai problem yang mereka hadapi dalam pesatnya laju teknologi informasi dan modernisasi global, termasuk “kodrat sejarah” dimana sebuah masyarakat lahir, tumbuh dan berkembang serta layu sebagai sebuah siklus yang tak terhindarkan.
Terjadi dilema dalam masyarakat Dayak. Ketika permintaan dunia wisata saat ini justeru menginginkan citra etnik Dayak yang tradisional, yang dulu telah dirusak dan diabaikan. Berbagai aktifitas tradisi, penanda “keprimitifan” menginginkan rekonsiliasi dengan kehidupan masa kini.
Fenomena ini sedikit menyentil kaum tua yang (mungkin) saat itu terlanjur malu menyandang identitas Dayak dengan berbagai penandanya. Sekaligus merupakan kegamangan kolektif generasi muda yang tercerabut dari akar budaya. Dilema itu baru disadari ketika momentum bangkit dan membaiknya posisi Dayak di tengah publik seperti saat ini.
Generasi yang pernah hidup dirumah panjang telah terkikis oleh waktu dan usia. Pewaris, pemangku, perangkat adat dan pengetahuan luhur tradisi dan adat Dayak banyak yang telah tiada. Sedangkan generasi sekarang secara konsepsional tak lagi mampu bicara banyak tentang budaya rumah panjang, yang menjadi konstruksi utama kehidupan adat istiadat. Generasi Dayak saat ini dapat dikatakan sebagai generasi yang tercerabut dari akar budaya, penanda ke”Dayak”an-Nya hanyalah garis keturunan dari orang tua, kelompok yang mungkin sempat berpikir untuk tidak banyak bicara “keDayakan” saat itu.
Masih pentingkah perdebatan mengenai seberapa jauh eksistensi Dayak saat ini mampu bertahan, direvitalisasi, direaktualisasikan? Pertanyaan yang tragis, namun itulah realita sesungguhnya yang harus dijawab oleh masyarakat Dayak, terutama bagi kalangan muda. Kondisi seperti apa yang ingin dicapai? kejayaan yang mana yang menjadi tolok ukur puncak perjuangan eksistensi budaya Dayak?
Hidup sejahtera, dalam kesempatan yang sama, berkecukupan dengan adat istiadat yang berdaulat, diperlakukan setara dimata pemerintah dan hukum. Kejayaan yang menjadi tolok ukur adalah situasi yang tak menghambat masyarakat Dayak untuk maju, kondisi dan kesempatan setara dalam kehidupan sosial, hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dengan komunitas lain yang hidup berdampingan.
Butir-butir diatas menjadi penting untuk memperbaiki kondisi dan mengembalikan kepercayaan mereka setelah sekian lama berada dititik terendah, atas perlakuan rejim dan keadaan. Walaupun sesungguhnya perlakuan pemerintah Orde Baru sebenarnya tak juga banyak menguntungkan komunitas lain, ia hanya dinikmati oleh segelintir kaum menengah dan menengah keatas, orang kaya baru, kroni dan komunitas yang tertolong oleh kolusi dan nepotisme.
Bagaimanapun, Dayak adalah elemen dari keunikan bangsa-bangsa yang membentuk Indonesia. Untuk itu kemajuan yang didamba adalah kemajuan bersama sebagai sebuah kesatuan bangsa, bukan lagi atas nama kesukuan dan etnosentris belaka. Namun untuk itu kedaulatan adat dan budaya Dayak di Kalimantan selayaknya diberikan ruang seluasnya untuk berkembang, demi pemahaman filosofi hidup dengan cara Dayak itu sendiri, bukan dengan cara dan budaya lain yang dijejalkan untuk mereka terima.
Memang seperti membalik telapak, namun kesadaran itu harus dipupuk melalui kontinuitas yang baik untuk mengeliminasi kondisi puluhan tahun saat budaya dan adat Dayak tak mendapat tempat yang layak. Akibat kerusakan yang paling nyata adalah minimnya pengetahuan dan putusnya mata rantai pendelegasian antar generasi, yang menyebabkan transformasi adat dan budaya tidak terjadi. Keadaan ini berakibat fatal terhadap generasi muda Dayak. Terjadi kegamangan, ketidakmengertian, kekurangpahaman, yang akhirnya bisa menyeret (mungkin sudah) pencarian jati diri itu kepada sebuah fanatisme sempit belaka.
Bicara eksitensi budaya Dayak adalah membicarakan seni dan filosofi hidup. Eksistensi budaya Dayak tak berbeda dengan budaya lain yang hidup di Kalimantan, ia adalah hakiki. Yang membedakan bisa saja bahasa, sejarah, letak geografis dan kebanggaan sebagai pribumi yang masih terus diperdebatkan. Selanjutnya adalah persamaan nasib, kesamaan mengalami kesulitan hidup ditengah krisis multidimensional negara ini.
Kemajuan dan gairah agenda wisata ternyata tidak serta merta membawa perubahan yang baik kepada masyarakat tradisi. Sebagai pemilik tradisi, mereka harus bertarung pula dengan masyarakat lain dalam meraih keuntungan ekonomis dari kesempatan itu. Disaat yang sama, pengetahuan dan manajerial warga lokal dalam pengelolaan keunikan tradisi itu, tak lebih baik (bahkan dibawah) dibandingkan pengusaha non Dayak. Fakta ini tak sedikit dijumpai di kampung-kampung, dimana warga Dayak semakin limbung dan mempertanyakan sendiri manfaat perubahan-perubahan aspek organisasi sosial, perilaku sosial, seni, ekonomi dan kosmologi yang dihadapinya.
Kemajuan dan perbaikan situasi yang diraih saat ini hendaknya membuat sebuah kesadaran bersama bagi intelektual masyarakat Dayak. Posisi puncak dan strategis dalam dunia politik sebaiknya tidak dianggap muara dari perjuangan identitas yang dilakukan, ia justeru merupakan awal kesadaran baru bahwa untuk bisa berdiri dengan tegak, diperlukan usaha kolektif antar seluruh elemen masyarakat Dayak itu sendiri.
Problema klasik para elite Dayak sering menjadi sandungan. Elite Dayak kerap berseteru yang langsung berdampak pada kelompok pendukungnya. Latar belakang suku, bahasa, letak geografis memperuncing potensi gesekan ditingkat dasar masyarakat Dayak. Strategi kolonial ini masih menjadi “hantu”, bahwa orang Dayak gampang terpecah oleh kepentingan-kepentingan politis dan pertarungan yang sebenarnya justru menghabiskan banyak energi.
Modernisasi bergerak seperti kilat merombak budaya tradisional, demikian pula terhadap orang Dayak dan kebudayaannya. Selama ini, orang Dayak sangat adaptif terhadap berbagai fenomena baru yang masuk kedalam ranah tradisi mereka. Apakah itu dari masyarakat sekitar, juga dari belahan dunia lain yang mempengaruhinya. Bukanlah hal sederhana mengantispasi perubahan tersebut, ditengah derasnya globalisasi dan teknologi informasi saat ini. Seluruh aspek kehidupan masyarakat Dayak telah mengalami penyesuaian dengan zaman ini. Kombinasi itu memperumit untuk melakukan komodifikasi tanpa mengabaikan kemurnian perjuangan identitas budaya Dayak. Pembangunan Betang-betang baru sesengguhnya merujuk kepada sebuah keresahan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, dimana dengan sangat mudahnya pusat kebudayaan Dayak itu dirubuhkan dan diganti dengan pola hidup dan pemukiman baru. Fungsi rumah baru itu, sesungguhnya tak akan pernah bisa menggantikan tergerusnya pelajaran dan seni hidup yang diajarkan dalam kehidupan yang saat itu.
Masyarakat Dayak sebaiknya tidak terlalu menyesali dan bernostalgia untuk kembali hidup dirumah panjang, yang perlu dibawa adalah harmonisasi dan kehidupan rumah panjang di masa silam, untuk disesuaikan dengan permasalahan dan tantangan dimasa kini. Rumah Panjang baru dapat mengingatkan dan mendekatkan generasi muda Dayak pada sejarah dan nilai filosofis didalamnya untuk kemudian dipadukan dengan ilmu yang diraih melalui pendidikan formal dibangku sekolah dan perkuliahan.
Saat ini, ratusan bahkan ribuan anak-anak Dayak menjalani pendidikan yang sama dan setara dengan masyarakat Indonesia umumnya. Kondisi ini memungkinkan adanya kesetaraan dan kesempatan yang sama pula untuk berbuat “sesuatu”. Dengan semakin baik kuantitas dan kualitas intelektualnya, diharapkan terjadi perubahan yang baik dalam visi Dayak dimasa depan. Kesempatan luas dalam pendidikan adalah jendela baru, ia harus dimanfaatkan sebagai “mandau” yang baru dalam mempertajam pengetahuan dan analisa, untuk hidup dalam tradisionalisme sekaligus mengadaptasi modernisasi budaya dengan bijak.
Rumah panjang-rumah panjang baru sebaiknya difungsikan sebagai sekolah dan perpustakaan yang dikelola dengan profesional oleh orang Dayak sendiri. Dimana terdapat berbagai koleksi buku, film, foto, data-data ekologis, farmasi, flora, fauna, budaya,seni, hingga berbagai sumber tertulis dan hasil karya masyarakat Dayak dimasa silam. Tidak untuk menggantikan museum, tapi untuk lebih fokus mendokumentasi apa saja tentang jejak Dayak. Anak-anak Dayak dibiasakan untuk mengenal tempat ini sebagai rumah mereka, alternatif bermain selain taman modern di Mall dan pusat perbelanjaan. Rumah Betang digerakkan sebagai komunitas belajar, untuk membentuk sebuah kreativitas masyarakat, kreativitas kolektif yang lahir oleh kesadaran dan terpelihara pula oleh kesadaran.
Dirumah itu dibina dan dikaryakan pengrajin-pengrajin souvenir ukir, anyam, tenun, kriya kayu, penempa besi hingga alat-alat pertanian. Yang dikelola dengan teratur dan terjadwal untuk siap dikunjungi kapanpun oleh wisatawan, diaktifkan pula sanggar-sanggar seni rupa dan seni pertunjukkan dengan pendampingan dan bimbingan dewan adat (yang legitimate), dewan kesenian, tetua, tokoh yang memahami adat dan mau mendelegasikannya sebagai ilmu.
Disekolah formal, muatan lokal diajarkan kepada anak-anak usia didik. Metode pengajaran yang mendewasakan dengan memberikan materi sesuai dengan kenyataan, baik dan buruknya adat, relevan atau tidaknya berbagai pengetahuan dalam falsafah hidup Dayak, mengungkap sejarah sebenar-benarnya mengenai kekurangan dan keunggulan perjalanan hidup orang Dayak dimasa silam. Dengan metode ini, diharapkan menstimulan minat bagi anak usia dini untuk tahu sejarah dan mengerti persoalan sebenarnya. Bagi kaum intelektual situasi ini menggairahkan penelitian, pengembangan pengetahuan budaya Dayak. Yang mampu bertahan dan kontekstual ditransformasikan, yang usang dan tak sesuai zaman ditinggalkan namun tetap terdata agar tetap dikenal sebagai sejarah masa lalu. Masyarakat tradisi Dayak di kampung-kampung perlu diberikan pelajaran untuk mengelola, menciptakan keuntungan-keuntungan yang wajar dari maraknya pariwisata dan kemajuan posisi tawar tradisi dan budaya Dayak saat ini. Sehingga selain menjual dan meraih keuntungan finansial dari situasi ini, diberdayakan pula penghormatan terhadap budaya, kesenian yang alami dan adat istiadat serta hukum adat yang dipelihara dan diperlakukan sesuai aturan dan konteks zamannya.
Memang tragis untuk menyebut usaha ini sebagai sebuah konservasi budaya seperti yang terjadi pada Indian di Amerika. Namun bila istilah ini pantas kiranya tak perlu malu dan berkecil hati, kebudayaan Dayak memang berada dibibir jurang. Meminjam sebuah slogan : “Ketika kami terusir dari pantai, kami masuk kekampung. Ketika dikampung kami kembali terusir, kami masuk kehutan. Ketika didalam hutan kami masih diusir, kami masuk lebih dalam ke rimba. Jika didalam rimba kami tetap terusir, sampailah kami di pinggir jurang, jika disinipun kami masih diusir, maka kami akan melawan”. Melawan bukan karena kebencian dan kemarahan, seluruh usaha itu sebaiknya dilakukan, diperjuangkan karena kecintaan terhadap budaya yang melahirkan tradisi Dayak yang pernah sangat mencengangkan dunia oleh eksotisme dan keunikkannya.
Apa yang terjadi saat ini di tengah masyarakat Dayak dan kebudayaannya Kalimantan Barat tentulah membanggakan masyarakat yang tinggal jauh didalam kampung dan pelosok. Kebanggaan yang melahirkan kepercayaan diri yang baik bagi masyarakat Dayak sebagai modal awal untuk memulai kerja besar ini. Pekerjaan besar dengan penafsiran baru untuk menyelamatkan budaya Dayak dari kemusnahan. Mereka yang harus memulai semuanya dengan sadar dan cerdas. Bekerja dengan didasari mentalitas dan semangat rumah panjang yang sebenarnya. Dalam hal ini pemerintah daerah, dewan kesenian, wakil rakyat, LSM, organisasi masyarakat akan menjadi mitra dan pendamping tanpa muatan politis dan kepentingan terselubung, agar berada pada jalur yang benar. Kita yakin bisa? Tak ada yang tak mungkin, kondisi ekonomis yang semakin baik oleh gerakan Kopdit, perkebunan yang dikelola dengan sehat, usaha swadaya masyarakat, semakin kokohnya SDM dan kebijakan yang berpihak memungkinkan kerja ini.
Kebanggaan yang dirasakan akhir-akhir ini selayaknya menjadi awal yang positif bagi perkembangan masyarakat dan budaya Dayak dikemudian hari. Kebanggaan yang memicu optimisme bahwa budaya Dayak bisa dihargai dan setara dengan kebudayaan lain di Indonesia, sehingga tidak mudah lahir kecurigaan-kecurigaan, prasangka, fanatisme sempit yang mengancam dan melahirkan konflik-konflik horisontal yang selama ini identik dengan Kalimantan Barat dan orang Dayak.
Sejak awal ditemukan dan diungkap oleh para Borneian, Dayak selalu mencengangkan dan mempesona, semoga situasi ini akan tetap demikian didalam hati generasi muda Dayak. Kecintaan dan kebanggaan sebagai generasi yang lahir dari sebuah kebudayaan besar. Sebagai bagian dari keragaman dan pluralisme budaya di Indonesia.
Apapun usaha positif yang telah dibuat oleh berbagai lembaga di Kalimantan, hendaknya terus ditularkan pada generasi muda, tak hanya secara definitif dari kalangan Dayak saja. Menyelamatkan dan memelihara budaya, adalah tugas bersama dalam kerangka Indonesia sebagai sebuah bangsa. Seluruh rencana, ide dan kerja besar ini harus dimulai sekarang, atau akan sia-sia. Pepatah orang Iban ( mengutip Apai Janggut, tetua adat Iban desa Sungai Utik) mengungkapkan: Agi Idup Agi Ngelaban, selama masih hidup akan terus berjuang, tak akan pernah ada kata menyerah.
Yes that's right brother. Agi Idup Agi Ngelaban, a Dayak Iban slogan.
BalasHapusdah mulai keren ne blognya...
BalasHapuswaktu meninggalkan kita.....mari berdamai dgn masa lalu untuk belajar lebih arif.....ty bro....lanjutkan tulisannya....aku suka
BalasHapus