advertise

15 November 2009

“PESTA SENI BUDAYA DAYAK se-Kalimantan VII”

“PESTA SENI BUDAYA MAHASISWA DAYAK VII”

Pesta orang Dayak di Yogyakarta.

Mahasiswa Kalimantan di Yogyakarta bergerak lagi. Bulan November, tepatnya pada tanggal 27-29 November tahun 2009 ini, Pesta Seni Budaya Dayak Se-Kalimantan VII akan digelar di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardja Soemantri (Purna Budaya) UGM Yogyakarta. Kegiatan ini memasuki penyelenggaran ke VII, setelah pada tahun-tahun sebelumnya secara bergiliran diadakan oleh himpunan mahasiswa per Kabupaten. Diawali dan di prakarsai Tahun 2001 oleh FKPMKS Sintang, kemudian 2002 HPMDKH Kapuas Hulu, 2004 kembali FKPMKS Sintang, 2005 IKBKSY Sanggau Kapuas, 2007 IPMKS Sekadau, 2008 Fokus Mapawi Melawi, dan pada tahun 2009 tanggung jawab dan kesempatan itu berada ditangan mahasiswa Ikatan Pelajar Mahasiswa Dayak Kutai Barat (IPMDKB) Kalimantan Timur. Awalnya, acara ini memang diprakarsai oleh mahasiswa asal Kalimantan Barat terutama mahasiswa asal Sintang yang merangkul banyak pekerja budaya, sedangkan mahasiswa asal Kaltim, Kalteng, dan Kalsel hadir sebagai peserta dan undangan. Sekarang perubahan itu mulai terjadi, acara ini mulai di kelola oleh seluruh mahasiswa Dayak yang ada di Yogyakarta tanpa pengkotakan yang berarti. Pengelompokkan per- kabupaten hanya bertujuan memudahkan teknis acara saja. Sejauh ini komunitas mahasiswa daerah lain pernah hadir sebagai undangan dan berpartisipasi dalam acara ini seperti Papua, Aceh, Sumba, Jawa Barat, Yogyakarta, Riau, Bali, Lampung .

Konsep acara ini mirip dengan kegiatan Gawai Dayak yang rutin diadakan di Pontianak. Dengan bilik perkelompok/per-kabupaten yang memajang, menjual segala jenis pernik khas Dayak, makanan khas, pameran karya fotografi dan rupa. Kompetisi permainan tradisional, sumpit, gasing, menganyam dan malam kesenian yang menampilkan tarian, lagu, instrumen dan festival.
Solidaritas di tanah perantauan bisa menjadi dugaan anda mengapa acara ini mampu terus terjadi hingga kali ke tujuh. Iklim kehidupan masyarakat Yogyakarta yang permisif terhadap budaya yang dibawa ribuan mahasiswa daerah memberikan peluang untuk berkembangnya acara serupa. Tapi dari sekian banyak agenda acara kedaerahan, even ini masih konsisten bergaung di Yogyakarta.
Rindu kampung dan semangat perantauan? Dibalik itu semua, ada sesuatu yang layak menjadi perhatian budayawan, seniman, masyarakat, khususnya pemerintah berbagai provinsi di Kalimantan. Fenomena ini tak sekedar merupakan representasi praduga diatas, dibalik itu ada semangat perjuangan identitas dan proses identifikasi diri yang dirasa belum selesai, terus dicari-cari. Sehingga begitu jauh acara ini terjadi di Yogyakarta.
Ada keresahan kolektif dalam diri orang muda dan para calon sarjana ini. Keresahan mengenai eksistensi budaya Dayak dimata masyarakat umum, nasional bahkan Internasional. Harus diakui bahwa generasi Dayak yang ada di Yogyakarta saat ini adalah generasi yang telah lama tercerabut dari akar budayanya. Mereka adalah generasi baru yang mencoba mengidentifikasi kembali ke”Dayak”an nya dan meng-aktualisasi-kan budaya tersebut ketengah perhatian masyarakat Yogyakarta yang konon adalah Indonesia mini. Bahwa orang Dayak belum sejajar dengan kelompok lain di Indonesia, eksistensi tradisinya membutuhkan perhatian serius, masyarakatnya di Kalimantan membutuhkan pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang layak, hak-hak atas tanah, hutan dan ulayatnya perlu menjadi prioritas. Itu adalah kosepsional yang sebenarnya secara samar ingin disampaikan dalam kegiatan ini.
Masa awal berada di Yogyakarta, selalu ada pertanyaan ketika mengaku sebagai orang Kalimantan. “Neng Kalimantan kuwi iseh ono wong Ndayak?”. Itu pertanyaan standar, yang lebih ekstrim : Tenan po Nek Ndayak kuwi Ono ekor? Pandai-pandailah menjawab atau menjelaskan, dan itu membutuhkan kemampuan diplomasi dasar, wawasan, dan suasana hati serta niat yang baik pula.
Bahwa pendapat orang mengenai Dayak sesungguhnya masih tak jauh bergeser Hal ini diperteguh oleh minimnya wawasan masyarakat lain terhadap Dayak itu sendiri. Begitu kuat stigmatisasi itu melekat sehingga masyarakat terdidik masih harus bertanya demikian? Apa yang sebenarnya disampaikan oleh informan, media, pemerintah kolonial bahkan pemerintah negeri ini dimasa lalu kepada masyarakat diluar Kalimantan?
Tulisan ini tak bermaksud membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut secara detail, masuk kedalam ranah historis dan politis. Cukup sebagai kilas balik saja.



JJ.Kusni, seorang pengamat dan budayawan Dayak pernah menyampaikan dalam tulisannya,( dalam Milis Nasional Indonesia, Surat Kepada Orang Sekampung :DAYAK DAN DAYAK 1, Oktober 2004) bahwa generasi Dayak saat ini adalah hampa wawasan dan konsep dan buta sejarah. Saya tak sepenuhnya setuju. Bukankah generasi saat ini adalah cermin dari generasi pendahulunya? Mentalitas generasi muda (khususnya Dayak) tak lepas dari perlakuan, pendidikan dan pendelegasian yang didapat dari generasi pendahulunya?

Saya mencatat bahwa mahasiswa Kalimantan Barat di Yogyakarta adalah yang paling agresif dan getol membicarakan budaya dalam berbagai even dibanding mahasiswa Kalimantan dibeberapa kota lain di Jawa (setidaknya dalam 10 tahun terakhir). Ada beberapa poin yang wajib menjadi perhatian bagi budayawan dan pemerintah Propinsi di Kalimantan terkait persoalan ini: 1. Potensi acara ini membantu promosi wisata, dan promosi daerah. 2. Pendanaan dan dukungan nyata bagi semangat dan kegiatan positif ini. 3. Campur tangan dan mengkonsep ulang pola pembinaan dalam asrama-asrama mahasiswa yang bertebaran di Jawa.
Melihat yang terjadi dikalangan mahasiswa Kalimantan Barat. Sesungguhnya secara organisatoris terjadi kekacauan serius dalam sistem dan organisasi yang seharusnya menginduk kepada Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat (KPMKB) sebagai wadah resmi mahasiswa Kalimantan Barat. KPMKB seharusnya memiliki legitimasi dalam acara-acara serupa ini, sebab pos pendanaan dari anggaran daerah sepenuhnya melalui KPMKB. Untuk itu, demi kelangsungan semangat positif dan baik tersebut pemerintah sebaiknya memberikan perhatian yang memadai terhadap persoalan yang terjadi. Sistem pembinaan kepemudaan berkaitan dengan mahasiswa Kalimantan di Jawa (khususnya berkaitan dengan organisasi dan asrama) haruslah dibenahi dan dibicarakan ulang. Supaya generasi ini terselamatkan dari beban pengkotakan, fanatisme, eksklusivitas. Setidaknya meminimalisir potensi yang dapat berdampak buruk bagi efisiensi dan kerukunan generasi baru di Kalimantan dan Indonesia secara umum.
Tulisan ini jelas jauh dari sempurna untuk memaparkan fakta dan cerita. Tetapi anda dapat menilai sendiri, bahwa selain menuntut ilmu dengan target “Sarjana” dan mapan dikemudian hari, orang muda ini tidak harus kembali dengan tetap menyimpan bara dalam cara melihat kelompok lain yang hidup berdampingan. Kalimantan adalah Kalimantan, Ia Indonesia, titik. Seluruh elemen didalamnya adalah sama dan setara dimata hukum pemerintah. Hanya dengan semangat itu,saya kira kita akan mendapatkan generasi yang mampu menghargai perbedaan dan Indonesia akan tetap menjadi Indonesia.
Sambutlah Pesta Seni Budaya mahasiswa Dayak se-Kalimantan di Yogyakarta. Acara ini memang pantas disambut dan dengan bangga. Terutama bagi ratusan bahkan ribuan mahasiswa yang setiap saat berkumpul, duduk dan bekerja keras dengan sabar untuk membuat semua ini terjadi. Dan membuka wawasan baru bagi masyarakat ilmiah di Yogyakarta tentang Dayak itu sendiri.
Kegiatan ini telah memberikan berbagai kontribusi kepada mahasiswa dan masyarakat berupa fungsi, yaitu sebagai hiburan, membina dan memunculkan aktivis baru, aktualisasi identitas, media komunikasi, penopang integrasi sosial, penjaga kesinambungan budaya, dan penyelenggara kesesuaian dengan norma-norma sosial.
Membicarakan etnisitas tak harus selalu mendapat predikat etnosentris, primordialis, bahkan fanatisme sempit kedaerahan. Ia adalah bagian dari keterlibatan aktif masyarakat (khususnya pemuda) dan partisipasi dalam menentukan arah perkembangan budaya Indonesia. Kasus klaim budaya oleh Malaysia beberapa waktu lalu menjadi contoh, bahwa budaya Nusantara harus terus dibicarakan juga diperkembangkan dan Kalimantan berbatasan langsung dengan Sarawak dan Sabah, klaim dan diskursus legitimasi budaya akan sangat potensial terjadi di wilayah ini.
Anda dipersilahkan datang dan hadir sekedar menikmati atau mengamati persoalan ini. Setidaknya mengetahui bahwa semangat Rumah Panjang masih dipelihara oleh kaum muda di Yogyakarta, demi kemajuan bersama bagi Kalimantan dan Indonesia. Selamat berpesta budaya Mahasiswa Dayak di Yogyakarta. Seperti tema yang diangkat : “BUDAYAMU PILAR BANGSAMU”.

Iwan Djola, Alumni ISI Yogyakarta.iwandjola@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar