Add caption |
WAJAH “PANGGUNG” KEBUDAYAAN: Dayak
Refleksi PBDN (Pekan Seni Budaya Dayak Nasional)
2013 di Gelora Bung Karno Jakarta.
TIDAK mudah menggambarkan wajah utuh Kebudayaan di satu wilayah termasuk
di Kalimantan. Menampilkan potret utuh Kebudayaan di Kalimantan memerlukan
idealisme, kemampuan, keseriusan, dan keberanian juga cukup pengetahuan.
Sebab banyak hal saling kait mengait dan menjadi sebuah simpul yang
harus diurai satu persatu. Namun pada suatu ketika demi kepentingan
penelusuran, ilmu pengetahuan dan identifikasi identitas usaha itu harus
dilakukan jua. Terutama bagi mereka yang diberi kewenangan untuk itu. Namun
justru kini sebaliknya yang terjadi, masyarakat (suatu generasi) bahkan
pemerintah (penyelenggara negara di berbagai lapisan) terkesan menampilkan
kondisi Kebudayaan (secara lebih luas) di Kalimantan (juga Indonesia) dalam
"Wajah Panggung" yang dikemas untuk maksud dan kepentingan tertentu,
pesanan, instan. Pembaca pastilah telah
memahami hal tersebut.
Menurut penulis, menampilkan Kebudayaan dalam wajah panggung tersebut
menjadi awal atau penyebab dari semua kemunduran pemahaman budaya bahkan
pendidikan budaya di seluruh Indonesia dari tingkat pusat hingga pelosok
wilayah kedaulatan Negara ini.
Wajah panggung adalah wajah yang dipoles, dengan make-up dan rupa-rupa
rias. Ibarat seorang aktor yang sedang menjalankan peran, ia berias dan
meninggalkan realitas hidupnya untuk menghayati peran itu. Berperan dengan rias
yang perlu dan tak perlu, rias yang layak bahkan tak layak, yang minimalis juga
yang futuris dan fantasi bahkan Topeng belaka.
Beberapa waktu lalu, bangsa ini disuguhkan sebuah perhelatan Pekan
Budaya Dayak Nasional (PBDN 2013), yang diadakan di Jakarta pada tanggal 27-30 April
2013 di Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan Jakarta.
Acara ini menghadirkan 13 Kabupaten Kota dari Provinsi Kalimantan
Barat, 13 Kabupaten kota Kalimantan Tengah, 13 Kabupaten kota Kalimantan Timur,
12 Kabupaten Kota Kalimantan Selatan, Kelompok Mahasiswa dari berbagai
Kabupaten dan provinsi yang tergabung dari kelompok Jakarta, Malang, Bandung
dan Malang serta dari mahasiswa Yogyakarta sebagai kontingen terbesar. Juga
Sanggar-sanggar yang tersebar di berbagai kota di Jawa, serta Dewan Adat Dayak
(DAD) dari setiap kota atau Kabupaten yang ada di Kalimantan dan daerah luar
Kalimantan. Serta yang paling mencengangkan adalah indikasi keikutsertaan 111
Perusahaan yang memberi dukungan, yang tertera pula dalam katalogus tersebut.
(sumber Katalogus Acara PBDN 2013).
Sesuai dengan judulnya Pekan Budaya Dayak Nasional 2013, tentulah
merupakan sebuah peristiwa penting bagi eksistensi budaya Dayak serta
aktualisasi dan revitalisasi nya.
Namun, bagi saya yang terjadi adalah wajah panggung kebudayaan. Acara
berjalan tersendat dan tidak terorganisir dengan baik. Dua panggung yang dibuat
seolah ingin membagi keramaian untuk menghindari penumpukan massa, namun
pengunjung yang hadir bahkan tak cukup untuk dibagi dalam konsentrasi yang
berbeda.
Dimulai dengan acara pembukaan oleh Wakil Presiden Boediono, mimbar
berupa sebuah Stage yang lebih layak
untuk sebuah festival Band remaja. Berikut hujan yang mengguyur dan ketidak siapan
dan kebingungan panitia dalam mengemas susunan acara yang menjadi parade
menunggu: siapa yang ada lebih dulu silahkan tampil untuk mengisi kekosongan
panggung dan tidak terjadwalnya pementasan dengan rapi.
Para penari dan pemusik duduk berbaur (bahkan disamping panggung dan
warung) dengan penonton tanpa ruang transit artis. Tak tampak kordinator
lapangan yang menguasai medan bahkan tak terlihat seorang Stage Manager yang
fasih menterjemahkan acaranya menit permenit.
Namun yang sangat disayangkan adalah esensi “Budaya Dayak” tersebut
lindap entah kemana. Dayak di dalam acara tersebut seolah cukup diwakili dengan
parade kostum tradisional, cawat, bulu ruai, taring babi dan rusa, tato,
selendang manik, tarian, muda-mudi yang lalu lalang dengan kostum yang memang
sangat “Dayak” di beberapa hari itu.
Diluar hal tersebut, semua menjadi simbol belaka. Tak ada Upacara adat
Penutupan bahkan Pembukaan seperti laiknya kelompok bangsa beradat dan
berbudaya. Tidak ada perbincangan serius soal materi strategis dalam “budaya”
itu, bahkan seminar yang diadakan pun tak lebih dari serupa formalitas belaka.
Baiklah, memang semua hal tersebut diatas adalah persoalan teknis yang
dapat menjadi pembelajaran, bisa dimaklumi sebagai awal membidani acara serupa
selanjutnya.
Inilah wajah Panggung itu. Ketika kebudayaan yang didalamnya terdapat
unsur-unsur mulia pembentuk identitas suatu bangsa itu hanya di perlakukan
sebagai komoditas cepat saji ala fast
food, mengenyangkan tak meninggalkan
kesan pembelajaran yang baik bagi sebuah generasi. Secara sepintas dan simbolis kerumunan
itu mempertunjukkan keanekaragaman budaya dan simbol kesenian dan atribut etnik
maupun budaya dalam acara tersebut yang diwakili oleh perkumpulan maupun
paguyuban etnik maupun kelompok seni budaya dan juga agama.
Ratusan bahkan ribuan
peserta dari daerah dan pelosok Kalimantan datang dengan biaya pemerintah
daerah, dengan harapan Dayak akan terlihat besar dan megah dimata Indonesia.
Adat dan tradisi mereka dihargai dan diperlihatkan bukan sebagai sebuah mitos
kebesaran masa lalu, tapi benar membanggakan sebagai kaum. Kaum yang lama
terjerembab oleh akses poltik dan pembangunan, dan kini bangkit kembali.
Tapi yang terjadi
adalah sebuah sandiwara dimana mereka tak lebih sebuag komoditas pemanis saja
dari sebuah proyek besar dengan dana besar luar biasa, di Jakarta ibu kota
Republik.
Sebuah tesis dinyatakan oleh Arnold Toynbee "kebangkitan umat
manusia sangat bergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan tanggapan yang
tepat terhadap masalah yang dihadapinya”, (Bost&Martin,1997).
Proses menjadi masyarakat
beradab yang punya nilai apresiasi terhadap keberadaan budaya lain tanpa
menjadikan budaya lain absurd karena harus inklusif dengan budaya mayoritas.
Masyarakat yang merasa punya rasa
memiliki (sense
of belonging)
terhadap kulturnya dan merasa ada ikatan kuat dengan,atau antara sub kultur
satu dengan sub kultur lainnya.
Orang Dayak sesungguhnya cukup
diuji zaman, karena hingga saat ini identitas itu masih ada dan menjadi
identitas kolektif yang sangat kuat antara kelompok, sub kultur bahkan sub
ordinasi. Di seluruh era pemerintahan di Republik ini, Dayak hanya menjadi
komoditas dan obyek pembangunan. Sudah sewajarnya pergerakan itu dimulai,
sehingga Indonesia tak kehilangan salah satu elemen utama wajah pluralisme
negara ini. Gerakan itu harus melibatkan generasimuda sebagai mitra, sehingga
pendapat Arnold Toynbe diatas menunjukan pada kita bahwa tanggapan langsung
terhadap apapun yang terjadi soal Dayak dimasa kini menjadi sebuah keharusan
yang tak dapat ditawar, oleh sebuah generasi. Apalagi di eliminir hanya oleh
strata dan usia. Siapapun berhak dan wajib mengkritisi diri dan lingkungannya.
Dalam sebuah makalah
seminar Pesta Seni Budaya Dayak X mahasiswa Yogyakarta, Roedy Haryo Widjono mengatakan: “Menurut Bernard Sellato (1989),
berabad-abad lamanya para ahli genetika, bahasa dan etnolog bertengkar tiada
habisnya dan berkutat dengan argumentasi keniscayaan, tatkala membedah
kesejatian manusia Dayak. Namun, tetap saja tak terungkap secara tuntas misteri
budaya pada komunitas adat Dayak. Bahkan, betapa sulitnya mendefinisikan apa
yang dinamakan suku bangsa dalam konteks Dayak. Sekalipun terdapat banyak
versi, namun pengelompokan etnik berdasarkan kesamaan hukum adat, bahasa, ritus
kematian, jalur sungai dan kriteria lain, membuktikan adanya keragaman budaya
dan perbedaan natural pada komunitas Dayak. Itulah yang disebut identitas
kolektif. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam identitas kolektif, amat
menentukan pandangan hidup dan pandangan tentang semesta, yang dialami sebagai
kekuatan integratif dan pembuktian eksistensi manusia Dayak sebagai pribumi di
Tanah Borneo”.
Jadi, ketika kita mulai
ingin membicarakan “budaya” di Kalimantan, adalah omong kosong jika menafikan
eksistensi Dayak sebagai sebuah kelompok kesatuan. Sehingga apapun produk dari
sebuah diskursus dan perdebatan dalam konteks yang beragam, bila anda bicara
soal budaya, tempatkanlah dengan terhormat Kebudayaan itu sebagai sebuah ruang
dialog baru yang konstruktif untuk sebuah generasi penerus.
Kalimantan memang
ladang subur, termasuk ladang subur bagi investasi yang sekarang secara rakus
menghabisi banyak elemen adat yang menjadi penjaga terakhir eksistensi budaya
itu. Pembangunan membutuhkan pengorbanan ujar seorang bijak, namun jika Majelis
Adat Dayak Nasional atau Dewan Adat Dayak (di tingkat apapun dalam strukturnya)
mau bersikap kritis dan elegan, acara seripa PBDN tak bleh diserahkan begitu
saja pada swasta sebagai pengelolanya. Sudah sangat tepat dan pantas acara yang
seharusnya membanggakan itu diurus
dan dilihat berhasil atau gagalnya oleh Dayak-Dayak muda yang sekarang bertebaran diseluruh Kota besar di Jawa.
dan dilihat berhasil atau gagalnya oleh Dayak-Dayak muda yang sekarang bertebaran diseluruh Kota besar di Jawa.
Pendek kata MADN dan
DAD tak boleh menunjukan “wajah Panggung” nya dalam peran sesungguhnya bagi
eksistensi masyarakat dan budaya Dayak. Sebab sikap seperti itu hanya akan
menjebak masyarakat pada sisi ekonomis semata, mereka bisa abaikan
pendelegasian, keluhuran dan kearifan budaya itu hanya demi pesanan dan
komoditas cepat saji. Itu sudah terjadi, namun acara besar yang baru saja
terjadi itu menunjukan bahwa : MADN tak sungguh memahami di tataran mana
gerakan besar ini harus dimulai. Untuk itu mari berdialog antar generasi, mari
melakukan rekonsiliasi antar generasi, dengan wajah Dayak kita sesungguhnya,
bukan wajah panggung, dan wajah pesanan.
Tabi’, Salam dan Hormat.
-Bandung
26Mei2013-
Iwan
Djola.
Peminat
soal budaya, terlibat dalam komunitas gerakan kaum muda Dayak
di Yogyakarta, mengajar di Fakultas Seni Rupa&Desain, di sebuah PTS di Bandung.